HADRATUSY SYAIKH AL ARIF BILLAH KH. ABDUL MADJID MA'ROEF QS wa RA , MUALIF SHOLAWAT WAHIDIYAH 
Kelahiran dan Masa Kanak-kanak
KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir dari pernikahan 
Syaikh Mohammad Ma’roef, pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadharah dengan 
Nyahi Hasanah putri Kyai Sholeh Banjar, Melati Kediri.
KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir pada hari Jum’at Wage malam 29   Ramadhan 1337 H/20 Oktober 1918 M sebagai putra ke tujuh dari sembilan   bersaudara.
Beliau lahir di tengah pesantren yang luas nan sepi. Dikelilingi   rawa-rawa dengan jumlah santri yang tak pernah lebih dari empat puluh   orang, Kedunglo.
Ketika masih baru berumur dua tahun oleh bapak-ibunya, Agus Madjid   dibawa pergi haji ke Makkah Al Mukarramah.  Di Makkah, setiap memasuki   jam dua belas malam, Kyai Ma’roef selalu menggendong Gus Madjid ke   Baitullah di bawah Talang Mas. Di sana Kyai Ma’roef berdoa, agar bayi   yang berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang sholeh   hatinya, Kyai Ma’roef selalu mendoakan Gus Madjid agar menjadi orang   shaleh.
Konon selama berada di Mekah, si kecil Agus Madjid yang juga dikhitankan   di sana akan diambil anak oleh salah seorang ulama Arab dan disetujui   oleh Mbah Yahi Ma’roef. Beruntung Mbah Nyahi Hasanah keberatan,  sehingga  Agus Madjid tetap berada dalam asuhan kedua orang tuanya.
Cerita Gus Madjid akan diangkat anak oleh ulama Mekah memunculkan sebuah ungkapan, “
Kalau   bukan karena Kyai Madjid maka Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir. Dan   kalau bukan karena Nyahi Hasanah, Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir  di  bumi Kedunglo”.
Sepulang dari Mekah, muncul kebiasaan unik pada diri Agus Madjid. Beliau   yang masih dalam usia tiga tahun (balita), hampir di setiap kesempatan   berkata, “
Qul, dawuha sira Muhammad”  (
Qul, katakanlah,   wahai Muhammad) sambil meletakkan tangannya di atas kepala. Kebiasaan   semacam ini terus berlangsung hingga Beliau memasuki usia tujuh tahun.
Kebiasaan lain Beliau semasa kanak-kanak adalah suka menyendiri, kurang   suka bergaul dan sangat pendiam.  Romlah dan Mbakyunya ini pula yang   mula pertama mengajari Beliau baca tulis Al-Qur’an.
Sifat pendiam dan tidak suka memamerkan keistimewaan yang dimiliki terus   dibawanya hingga Beliau memasuki usia remaja. Karena sifat pendiam  Agus  Madjid inilah hingga tidak ada yang tahu keistimewaan-keistimewaan   Beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.
Walaupun Gus Madjid secara lahiriyah nampat tidak istimewa dibandingkan   dengan Gus Malik adiknya yang pandai dan sering menampakkan   kekeramatannya. Dan Gus Malik pula yang bertindak sebagai wakil ayahnya   apabila Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang berhalangan, hingga tidak   sedikit yang menyangka bahwa Gus Maliklah calon penerus ayahnya.  Akan   tetapi pada hakikatnya, Kyai Ma’roef telah mempersiapkan Agus Madjid   sebagai penggantinya sejak Beliau baru dilahirkan.  Terbukti, meski Gus   Madjid masih baru berusia dua tahun ada yang mengatakan baru berumur  1,5  tahun, ayahnya telah membawanya serta pergi haji. Padahal kita  semua  tahu bagaimana kondisi transportasi dan akomodasi jamaah haji di  tahun  1920-an. Sungguh sulit, penuh rintangan dan sangat melelahkan.  Belum  lagi kondisi cuaca alam tanah Arab yang berbeda jauh dengan  kondisi di  Indonesia, dan itu ditempuh berbulan-bulan lamanya.
Bukti lain bahwa Gus Madjid dipersiapkan sebagai calon penerus ayahnya,   adalah setiap mendekati bulan haji, Kyai Ma’roef selalu kedatangan tamu   dari kalangan 
sayyid dan 
sayyidah dari jazirah Arab. Saat itulah, sambil menggendong Gus Madjid, Nyahi Hasanah berkata kepada tamunyam, 
“Niki, Ndoro Sayyid yugo kulo, njenengan suwuk, dados tiyang ingkang sahaleh atine.”  (Ini Tuan Sayyid, do’akan anak saya agar menjadi orang yang shaleh hatinya).
Pernah, suatu hari saat Kyai Ma’roef sedang bepergian, datang seorang   habib hendak bersilaturrahim. Karena Kyai Ma’roef tidak ada, si tamu   minta dipanggilkan Gus Madjid, katanya akan dido’akan. Karena Gus Madjid   sedang bermain dan belum mandi, maka 
abdi dalem (pembantu)   membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui si tamu. “Wah, ini bukan   Gus Madjid, tolong bawa Gus Madjid kemari!” kata habib kepda 
abdi dalem.
Belajar pada Ayahnya
Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah, namun   hanya sampai kelas dua. Selanjutnya, Kyai Ma’roef mengantar Agus  Madjid  mondok di Jamsaren Solo pada Kyai Abu Amar. Genap tujuh hari di   Jamsaren, Agus Madjid dipanggil gurunya, disuruh kembali ke Kedunglo. 
“Sampun Gus, panjenengan kundur mawon!”, sambil dititipi surat   agar disampaikan kepda ayahnya. Gus Madjid menuruti perintah Kyai Abu   Amar, meski dengan pikiran penuh tanda tanya kembali ke Kediri. 
Terdorong oleh jiwa muda ayng haus akan ilmu pengetahuan, Agus Madjid   kemudian mondok di Mojosari, Loceret, Nganjuk. Namun setelah hari   ketujuh, Beliau dipanggil Kyai Zainuddin, gurunya. 
“Gus, njenengan sampun cukup, mboten usah mondok, kundur kemawon, wonten ndalem kemawon”.   (Gus, Anda sudah cukup, tidak mondok, pulang saja, di rumah saja).  Agus  Madjid pun kembali ke Kedunglo dan matur kepada ayahnya, kalau  gurunya  tidak bersedia memberinya pelajaran.
“Wis kowe tak wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu, kamu aku didik sendiri saja, satu bulan nilainya sama dengan seribu bulan), ujar Kyai Ma’roef.
Maka setelah empat belas hari mondok di Jamsaren dan Mojosari, gurunya   adalah ayahnya sendiri, Kyai Haji Mohammad Ma’roef RA yang telah   mewarisi ilmu dari Kyai Kholil, Bangkalan. Oleh ayahnya, setiap selesai   sholat maghrib, Gus Madjid diajari aneka macam ilmu yang diajarkan di   pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok   pesantren.  Sehingga ayahnya pernah berkata kepada adik Gus Madjid, 
“Madjid iku nggak kalah karo anak pondokan”  (Madjid itu tidak kalah dengan anak pesantren).
Tak heran kalau pada akhirnya Beliau tumbuh sebagai pemuda ayng sangat 
'alim dan 
wara’.  Ibarat padi semakin tinggi ilmunya Beliau semakin 
tawadhu'   dan pendiam, sehingga siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik   kediamannya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan.    Tapi itulah keistimewaan Beliau yang tidak pernah menammpakan   keistimewaannya, karamahnya kepada sesamanya.
Menikahi Melati dari Tawangsari
Ketika Agus Madjid sudah berumur 27 tahun dan hampir menguasai   keseluruhan ilmu ayahnya, Beliau semakin nampak dewasa dan matang.    Tidaklah aneh kalau banyak gadis yang mengidamkannya.  Karena disamping   Beliau dikenal sebagai putra kyai ampuh yang masyhur dan makbul doanya,   Agus Madjid adalah sosok pemuda 'alim berwajah tampan nan rupawan  bagai  rembulan.
Namun dari sekian gadis, putri-putri kyai yang mendambakan dipersunting   oleh Agus Madjid, akhirnya yang menang adalah dara manis yang sedang   beranjak remaja, bernama 
Shofiyah yang kala itu berusia 16 tahun   putri K. Moh. Hamzah dengan Ibu Ummi Kulsum, buyut KH. Mansyur pendiri   Kota Tulung Agung yang mendapat tanah perdikan dari Sultan   Hamengkubuwono II karena telah berhasil mengeringkan sumber Tulung   Agung, dan kini menjadi alun-alun kota Tulung Agung.
Semula, oleh ibunya Agus Madjid dijodohkan dengan sepupunya sendiri yaitu 
“Nyahi Zainab”   putri KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo (akhirnya dinikahi oleh KH. Mahrus   Lirboyo. Red). Apalagi Agus Madjid saat ditawari akan dinikahkan  dengan  saudara sepupunya yang cantik dan pinter itu hanya diam saja.   Meski  tidak mendapat jawaban yang pasti dari Agus Madjid, antara pihak   Kedunglo dan pihak Lirboyo sepakat akan menikahkan keduanya.
Kemudian diselenggarakanlah upacara akad nikah putra dan putri kyai yang   masih kerabat dekat dan sama-sama pernah menjadi santri Kyai Kholil   Bangkalan ini dengan menyembelih lima ekor kambing.
Tetapi entah mengapa, ketika Pak Naib meng-akid, calon pengantin putra   hanya diam saja tidak menjawab. Berkali-kali Pak Naib mengucapkan 
ijab tetapi tidak mendapat jawabab 
qobul   dari Agus Madjid.  Maka menghertilah kedua orang tuanya termasuk calon   mertuanya, kalau Gus Madjid tidak mau menikah dengan “Nyahi Zainab”,   saudara sepupunya tersebut.
Lepas dari perkawinan antara kerabat, Agus Madjid ditawari kembang dari   Tawangsari, Tulung Agung yang sedang mekar-mekarnya oleh Yusuf santri   ayahnya yang tak lain adlah paman si gadis.  Agus Madjid setuju dan   nontoni  (melihat) si gadis yang sedang memetik beberapa kuntum Melati   dari balik jendela di bawah menara masjid. Si gadis itu tak lain adalah   Shofiyah putri ke-7 dari 12 bersaudara.
Perkawinan antara Kyai Abdul Madjid dengan Nyahi Shofiyah dikaruniai 14 orang anak. Keempatbelas putra-putri itu adalah 
Ning   Unsiyati (Almh), Ning Nurul Isma, Ning Khuriyah (Almh), Ning Tatik   Farikhah, Agus Abdul Latief, Agus Abdul Hamid, Ning Fauziah (Almh), Ning   Djauharatul Maknunah, Ning Istiqomah, Agus Moh. Hasyim Asy’ari (Alm),   Ning Tutik Indyah, Agus Syafi’ Wahidi Sunaryo, Ning Khusnatun Nihayah dan 
Ning Zaidatun Inayah.
Kepribadiannya
Mbah KH. Abdul Madjid QS wa RA mempunyai kepribadian yang sangat   mempesona. Menurut penuturan orang-orang yang hidup sejaman dengan   Beliau, akhlak Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA adalah 
bi akhlaqi  Rasulillah SAW.   Berbadan sedang, dengan warna kulit putih bersih. Berhidung mancung   agak tumpul dan berbibir bagus, agak lebar dengan garis bibir tidak   jelas yang menunjukkan bahwa Beliau mempunyai tingkat kesabaran yang   luar biasa. Matanya cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam bak   gua, menunjukkan bahwa Beliau seorang yang mempunyai pemikiran yang   tajam dan dalam.  Di antara kedua matanya terdapat urat halus dan lurus   sebagai pertanda Beliau Mbah Yahi Madjid memiliki otak yang brilian.   Tangannya halus dan lembut, selembut hatinya yang pemaaf.  Kalau   berjalan, Beliau melangkah dengan pelan tapi pasti dengan sorot mata   mengarah ke bawah.  Terkadang Beliau juga menoleh ke kiri/kekanan untuk   melihat situasi dan keadaan jamaah.  Mengenai jalannya Mbah Yahi ini,   Kyai Zainudin menuturkan bahwa yang paling mendekati jalannya Mbah Yahi   adalah Beliau Romo Yahi Abdul Latief Madjid RA, ketika Beliau 
mios (berangkat) ke masjid untuk pengajian Minggu pagi.
Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, Beliau juga sering   melontarkan kalimat-kalimat canda yang membuat Beliau dan tamunya   tertawa.  Beliau berbicara dengan 
jawami’ kalam. Artinya,   kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena Beliau   mempuNyahi kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan   padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan   yang dituturkannya.  Beliau mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak   lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki.  Beliau memperhatikan   sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
Di samping itu Beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan nampat tidak punya ongkos buat pulang, 
disangoni   (diberi ongkos) oleh Mbah Yahi. Pernah Mbah Yahi memberi uang belanja   kepada seorang pengamal (sebutan untuk pengamal Shalawat Wahidiyah)  yang  tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu   karamah Beliau, ketika si tamu pamit pulang Mbah Yahi memberikan   jubahnya kepada si tamu.
Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang   telah dipakainya sekali tidak dipakainya lagi. Karena tak heran kalau   Beliau sering mencuci pakainnya sendiri bahkan juga menguras 
jeding-nya (bak mandi) sendiri. Dalam masalah ini Beliau pernah mengungkapkan 
rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit.
Bila marah, Beliau cuma diam.  Hanya roman mukanya sedikit berubah.   Kalau Beliau mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan   sperti tidak pernah terjadi apa-apa. Perihal marahnya Mbah Yahi QS wa RA   ini, Mbah Nyahi sebagai orang terdekat yang telah menemani Beliau  lebih  dari 40 tahun menuturkan, “Kalau Beliau kurang berkenan kepada  saya,  atau ada kesalahan ayng telah saya lakukan, tetapi saya kurang   menyadarinya, Beliau hanya diam saja dengan roman muka sedikit berubah   tidak seperti biasanya. Kalau Mbah Yahi sudah demikian, saya bingung dan   sedih sekali. Begitu besarkah kesalahan saya di amta Beliau? Kemudian   satu persatu saya koreksi kesalahan apa yang telah saya lakukan  sehingga  Beliau tidak menegur saya. Semakin saya koreksi, saya  merasakan terlalu  banyak kesalahan yang telah saya perbuat sehingga  saya tidak tahu di  mana letak kesalahan saya sendiri. Namun itu tidak  berlangsung lama,  sebentar kemudian Beliau menegur saya dan selanjutnya  seperti tak pernah  terjadi apa-apa.”
Dari sini kita tahu kalau kehidupan rumah tangga Beliau jauh dari   perselisihan dan tidak pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada   kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing sibuk mengoreksi   kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yahi, yang sering berfatwa 
agar para pengamal lebih sering nggrayahi githoke dewe (mengoreksi kesalahan sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain, ternyata terlebih dahulu diterapkan pada keluarga Beliau.
Kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dan Mbah Nyahi adalah potret kehidupan   rumah tangga harmonis dan sangat bahagia. Sebagai suami, Mbah Yahi   adalah sosok suami yang romantis, amat setia, mencintai dan menyayangi   istri sepenuh hati. Meski sebagai putra kyai, Mbah Yahi tidak   segan-segan menghibur istrinya dengan mengajaknya menonton pasar malam,   seraya menggandeng tangan Mbah Nyahi. Bahkan Beliau juga menggendong   Mbah Nyahi apabila menjumpai jalan licin atau ada kubangan-kubangan di   tengah jalan.
“Kalau kami jalan berdua, Mbah Yahi itu tidak pernah melepaskan tangan   saya. Beliau selalu menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami   lakukan berdua. Bahkan untuk mencari hutangan kalau kami tidak punya   uang, kami mencari bersama-sama”, tutur Mbah Nyahi saat menceritakan   kemesraan Mbah Yahi.
Dalam kehidupan sehari-hari Mbah Yahi Madjid QS wa RA, sebagaimana yang   dikatakan Mbah Nyahi RAH, Beliau adalah manusia biasa seperti manusia   lainnya. Beliau mencuci baju sendiri dan kerap kali mencucikan baju Mbah   Nyahi atau baju putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi.  Beliau   selalu membantu Mbah Nyahi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau   Mbah Nyahi akan memasak sayur santan, Mbah Yahi yang memarut kelapanya   dan Mbah Nyahi ayng membuat bumbunya. Mbah Yahi juga membantu mengasuh   putra-putrinya yang masih kecil-kecil. Memandikan, 
ndandani (berhias) bahkan menyuapi.
Kalau persediaan padi hasil panen habis, Mbah Yahi memanen sayuran   kangkung yang Beliau tanam sendiri, lalu dijual ke pasar oleh Mbah Nyahi   untuk dibelikan beras. Tak jarang Beliau sekeluarga hanya makan sayur   kangkung saja. Dalam kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dulu, tidak   mempunyai apa-apa sama sekali sudah biasa. Dan kondisi semacam itu   diterima dengan tabah, sabar dan ikhlas oleh Mbah Nyahi.
Melihat kondisi Mbah Yahi sekelurga yang sangat sederhana dan apa adanya   tersebut, Pak Haji Alwan merasa kasihan dan berkata kepada Mbah Yahi,   “Romo Kyai Ma’roef itu orangnya ampuh dan apa-apa yang Beliau inginkan,   Kyai Ma’roef tinggal berdo’a memohon kepda Allah langsung diijabahi”. 
Tapi apa tanggapan Mbah Yahi? “
Pak Haji Alwan, kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah, sedangkan saya ndak usah berdoa, hanya krenteg (terbetik) dalam hati saja langsung diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau”.
Pernyataan Mbah Yahi QS wa RA di atas mengingatkan kita kepada   Rasulullah SAW, saat Malaikat Jibril merasa sangat prihatin menyaksikan   kehidupan keseharian Rasulullah SAW sebagai makhluk terkasih di sisi   Allah SWT yang hidupnya sangat sederhana, sehignga Malaikat Jibril   menawarkan Rasulullah hendak mengubah gunung menjadi emas. 
“
Biarlah saya begini, sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar,   aku bisa mengingat Tuhanku dan menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku   kenyang, aku bisa memuji Tuhanku menjdi hamba Allah yang bersyukur”, itulah jawaban seorang manusia termulia di muka bumi ini.
Mbah Yahi QS wa RA apda awal-awal penciptaan Shalawat Wahidiyah,   senantiasa prihatin. Beliau prihatin karena urusan-urusan penting yang   sedang di hadapinya. Keprihatinan Beliau bukanlah berkaitan dengan   masalah khusus mengenai dirinya, melainkan yang berhubungan dengan orang   lain, berhubungan dengan masyarakat 
jami’al ‘alamin.
Hal lain mengenai Beliau adalah setiap orang yang memandangnya akan merasakan kesejukan yang merasuk ke dalam hati. 
Dan siapa pun yang Beliau pandang hatinya pasti bergetar.
Antara NU dan Wahidiyah
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah, Beliau adalah seorang aktifis NU.   Ketika usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik   NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun   Beliau terlihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi   kenyataannya Beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan.   Keaktifannya di NU terus berlanjut meski Beliau sudah menikah. Beliau   pernah menjabat sebagai pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU   cabang Kodya Kediri. Namun setelah Beliau diberikan amanah Rasulullah   SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya (1963) ke pada   umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Pada tahun 1964, Mbah Yahi menyelenggarakan resepsi ulang tahun Shalawat   Wahidiyah pertama sekaligus khitanan Agus Abdul Hamid dan selapan   harinya Ning Tutik Indiyah dengan mengundang Pembesar Ulama dari   berbagai daerah Jawa Timur, di samping keluarga dan kaum muslimin   lainnya.  
Hadir sebagai tamu kehormatan, antara lain: KH. Abdul Wahab   Hasbullah, Rois ‘Am NU dan Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambah  Beras,  Jombang; KH. Machrus Ali, Syuriah NU Wilayah Jatim dan Pengasuh  Ponpes  Lirboyo, Kediri; KH. Abdul Karim Hasyim (Putra Pnediri NU)  Pengasuh  Pesantren Tebu Ireng, Jombang; dan KH. Hmim Djazuli (Gus Mik)  Putra  pendiri Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi untuk menyiarkan Shalawat Wahidiyah kepda segenap hadirin.
"Nuwun sewu, kula gadah amalan Shalawat Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula ijazahi?" (Mohon maaf, saya mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin bersedia saya beri ijazah?), tutur Mbah Yahi dalam sambutannya. Spontan yang hadir menjawab 
“kerso” (bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada yang setengah berdiri, seakan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula 
KH. Wahab Hasbullah spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: 
“Qobiltu awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama). 
Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam sambutannya, antara lain mengatakan, 
“Hadirin..   ilmunya Gus Madjid dalam sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam   sepuluh meter. Sedang saya hanya memiliki ukuran satu koma dua meter   saja. Sholawatnya Gus Madjid ini akan saya amalkan..”.
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah.   Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah,   karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Wahidiyah akan jadi   saingan NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri   bersama-sama silaturrahim kepada Beliau mohon penjelasan tentang   Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang   singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “
Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa? Dasar apa dan menurut qoul yang mana?”
Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat Wahidiyah itu susunan saya sendiri”.
Para tamu, kembali bertanya, “Apa benar, Kyai mengatakan kalau orang   membaca Sholawat Wahidiyah itu sama dengan ibadah satu tahun?”
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat, kalau membaca sholawat   Allahumma kamaa anta ahluh… itu sama dengan ibadah setahun. Begitu itu,   ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca   Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalil sepuluh kali”,   jawab Mbah Yahi Madjid QS wa RA.
Para tamu masih terus bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan   Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat? Itu kan namanya   menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh?”
“Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat itu banyak”, jawab Mbah Yahi. 
Mendengar jawaban Mbah Yahi yang tegas dan lugas, kemudian para tamu tidak bertanya kembali.
Suatu ketika Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan penjelasan mengenai   Sholawat Wahidiyah di dukuh Mayam Desa Kranding, Kec. Mojo, Kab. Kediri,   di hadapan para kyai se-kecamatan Mojo Selatan, di antara yang hadir   adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso,   dalam khutbah 
iftitah-nya Beliau Mualif Sholawat Wahidiyah mengucapkan: 
“Alhamdulillaahi aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”
Sebelum Wahidiyah disiarkan secara umum, Mbah Yahi mengirimkan Shalawat   Wahidiyah yang ditulis tangan oleh K. Muhaimin (Alm) santri Kedunglo   kepada para ulma Kediri dan sekitarnya disertai surat pengantar yang   Beliau tandatangani sendiri. Sejauh itu tak satupun di antara kyai yang   dikirimi shalawat, mempermasalahkan Shalawat Wahidiyah. 
“Semua doa sholawat itu baik”. Begitu komentar para kyai waktu itu.
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang   sependapat terhadap adanya (lahirnya) Shalawat Wahidiyah, namun oleh   Mbah Yahi 
justru mereka yang tidak atau kurang sependapat dengan   adanya Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai kawan seperjuangan. Sebab   dengan adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat Wahidiyah dan   ajarannya mendorong pengamal jadi lebih giat dalam bermujahadah dan   sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu turut menyiarkan Wahidiyah   dengan cara dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya   silang pendapat atau salah faham tersebut, orang yang tadinya belum tahu   Shalawat Wahidiyah menjadi tahu. Mereka ikut andil dalam Perjuangan   Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW. (Begitu mulia akhlaq Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Al Faathihah….)
Mbah Yahi, Ghoutsu Zamanihi
Menurut penjelasan Kyai Baidhowi, Mbah Yahi QS wa RA diangkat menjadi   "Ghouts" oleh Allah SWT sebelum Beliau dipercaya oleh Rasulullah SAW   mentaklif Sholawat Wahidiyah, jadi antara tahun 1959 – 1992. Mbah Yahi   QS wa RA sendiri pada pertengahan tahun 1961 sering dawuh menganjurkan   kepada penderek (pengikut) dekatnya agar mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman. 
“Monggo sami madosi Ghoutsu Hadzaz Zaman, manggene wonten pundi?” (mari bersama-sama mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman, keberadaannya di mana?)
Mendengar dawuh Mbah Yahi seperti itu, Mbah KH. Mubasyir Mundir (Alm)   salah seorang yang dekat dengan Mbah Yahi, yang sudah masyhur   kewaliannya di Jawa Timur berangkat ke Ponpes Tebu Ireng-Jombang yang   diasuh oleh KH. Abdul Karim Hasyim (cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim   Asy’ary RA) bermaksud 
riyadhah mencari "Ghoutsu Zaman". Rencananya Mbah Mundir (panggilan akrab KH. Mubasyir Mundir)akan 
riyadhah dengan puasa mutih selama 40 hari. Namun baru seminggu, beliau sudah menerima alamat (
isyarah bathiniyah) bahwa: KH. Abdul Madjid Ma’roef adalah "Quthbul Aqthob Hadzaz Zaman". Akhirnya rencana 
riyadhoh   selama 40 hari beliau batalkan. Selanjutnya Mbah Mundir  kembali ke   Kedunglo. Sesampainya di Kedunglo dan berjumpa denagn Mbah Yahi QS wa   RA, tanpa berkata sepatah kata pun, Mbah Mundir langsung tersungkur di   hadapan Mbah Yahi. 
“Gus, mbok ya sampun ngoten, biasa-biasa kemawon” (Gus, tidak usah seperti itu, yang wajar-wajar saja), tutur Mbah Yahi.
Setelah peristiwa tersebut, Mbah Mundir berpesan kepada putra   kesayangannya yakni Agus Thoha Yasin, “Ha.. (Thoha) nanti kalau ada tamu   jangan dibukakan pintu, tapi kalau tamunya Kyai Madjid, persilahkan   masuk”.
Bersamaan itu, masih menurut Kyai Baidlowi, keponakan Mbah mundir, Agus   Muhaimin Abdul Qodir dalam kondisi terjaga dihadiri Nabiyullah Khidir   AS, yang intinya menyampaikan bahwa 
Beliau Mualif Shalawat Wahidiyah adalah Qathbul Aqthob.   Kyai Agus Muhaimin kurang percaya, seraya bertanya: “Masih banyak  ulama  yang ‘allamah, kenapa kok Pak Kyai Abdul Madjid yang menduduki  jabatan  Shulthonul Auliyaa?”  Nabi Khidzir menjawab, “Tidak ada pilihan  lain 
‘indallah selain dia”. Setelah jawaban itu, nabi Khidzir pun menghilang.
KH. Hamim Djazuli (Gus Mik) yang kondang kewaliannya, mengakui kalau   Muallif Shalawat Wahidiyah adalah "Shulthonul Auliyaa" seperti yang   disampaikannya saat beliau memberi kata sambutan dalam acara khitanan   dan ulang tahun pertama Shalawat Wahidiyah. Di antara sambutannya, “Para   hadirin, siapakah sebenarnya Agus Abdul Madjid itu?” Karena tak satu   pun dari yang hadir menjawab, maka beliau meneruskan sambutannya, “
Beliau   adalah Roisul ‘Arifin. Hadirin, seumpama Panjenenganipun Syaikh Abdul   Qodir Al-Jailani masih hidup, saya yakin akan juga ikut mengamalkan   shalawat Agus Abdul Madjid ini”.
Di sisi lain, setelah KH. Djazuli Utsman, ayahanda Gus Mik juga dengan   sungguh-sungguh mengamalkan Shalawat Wahidiyah. Konon katanya, setiap   melaksanakan shalat fardhu dan mengamalkan Shalawat Wahidiyah, Mbah Yahi   Madjid QS wa RA nampak di hadapannya. Kejadian tersebut terus   berlangsung hingga tujuh hari. Sementara itu Ibu Nyai Djazuli   mengungkapkan, ketika membaca Shalawat Wahidiyah mendengar suara ghaib   yang menyatakan dengan jelas bahwa 
Kyai Abdul Madjid adalah Ghautsu Hadzaz Zaman,   berulang-ulang sampai tiga kali. Kemudian pengalaman bathin tersebut   disampaikan kepada Kyai Djazuli Ustman, beliau juga menceritakan   pengalaman yang sama. Akhirnya beliau berdua memutuskan sowan ke   Kedunglo.
Keesokan harinya, sekitar jam tujuh pagi Kyai Djazuli Ustman beserta Ibu   Nyai bersiap hendak pergi ke Kedunglo dengan membawa sekarung beras  dan  rencananya akan mengendarai dokar. Tetapi belum sampai berangkat,  Mbah  Yahi beserta Mbah Mundir dan Bapak Abdul Jalil Jaserman telah tiba  lebih  dulu di Ponpes Ploso (tempat tinggal Kyai Djazuli Ustman).
Selasa Kelabu di Bulan Rajab
“Romo Yahi kurang sehat….”
“Romo Yahi lagi 
gerah…”
Kabar itu segera menyebar ke seluruh perserta Mujahadah Kubro di bulan   Rajab tahun 1989. Kontan saja resepsi Mujahadah Kubro memperingati Isra’   Mi’raj Nabi Muhammad SAW serasa lain dari biasanya. Suasana syahdu   tersa sangat melingkupi hari-hari Mujahadah Kubro. Apalagi pada malam   pertama, kedua dan ketiga Mbah Yahi tidak 
mios (tidak hadir secara langsung ke arena mujahadah) untuk menyampaikan fatwa dan amanat.
Pada malam terakhir, sebenarnya Mbah Yahi QS wa RA sudah melimpahkan   pengisian fatwa dan amanah kepda putra lekaki pertamnya (Romo KH. Abdul   Latief Madjid RA). Tetapi para pecintanya sangat merindukan Mbah Yahi   hadir di tengah-tengah peserta untuk mendengarkan fatwa terakhir Beliau.   Kemudian wakil dari peserta menyampaikan kepada Mbah Nyahi akan   kerinduan dan kecintaan para pengamal kepada Mbah Yahi. Akhirnya Mbah   Nyahi sowan kepada Mbah Yahi agar Mbah Yahi berkenan menyampaikan fatwa   dan amanat terakhirnya.
Puji syukur Al-Hamdulillah, karena kasih dan sayang Mbah Yahi kepada   pengamal, Beliau berkenan menyampaikan fatwa dan amanat terakhir di   malam terakhir pelaksanaan mujahadah kubro, meski dari dalam kamar di 
ndalem (rumah Beliau) tengah. Pada kesempatan tersebut Beliau memberikan 
"ijazah" Shalawat Wahidiyah kepada seluruh hadirin untuk diamalkan dan disiarkan dengan kalimat, 
“Ajaztukum bihadzihish shalawatil wahidiyah fil amali wan nasyri”,
Setelah itu, kondisi kesehatan Beliau semakin berkurang, walau demikian   Beliau masih juga berkenan mengisi pengajian Ahad pagi dari 
ndalem. 
Begitulah Mbah Yahi QS wa RA, di saat-saat terakhir hayatnya, Beliau masih membimbing dan men-
tarbiyah  pe-
nderek-nya.
Mengenai siapa di antara putra-putra Beliau yang kerap disebut,   sebagaimana yang diceritakan oleh Kyai Rahmat Sukir dari penuturan Mbah   Nyahi. Pada detik terakhir menjelang wafatnya, 
yang dipanggil-panggil Mbah Yahi adalah Agus Latief (Romo Yahi Abdul Latief RA).   Saat itulah, Romo Yahi Abdul Latief RA memohonkan maaf segenap  keluarga  dan seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah kepada Mbah Yahi QS wa  RA.  “Ya..” jawab Mbah Yahi QS wa RA. Tak lama berselang, saat itu 
Selasa   Wage tanggal 7 Maret 1989 atau 29 Rajab 1409 H, jam 10.30 WIB, Sang   Warasatul Anbiyaa, Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH.   Abdul Madjid RA telah ridla dan diridlai menghadap Allah SWT.
Tak ada tangis yang meledak, hanya awan kedukaan begitu kelabu   menyelimuti Selasa itu, dan perlahan-lahan air mata pun menetes di bumi   Kedunglo Al-Munadharah seiring datangnya para tamu dari berbagai   penjuru, yang ingin bertakziyah dan memyampaikan penghormatan terakhir   kepada sesorang yang 
‘Alim, namun tidak pernah menampakkan   ke-‘aliman-nya. Semakin senja para peziarah semakin membanjir. Shalat   janazah pun dilaksankan secara bergilir, karena masjid sudah tidak   menampung jumlah jamaah. Begitu juga pemakaman terpaksa ditunda,   mengingat jumlah peziarah yang terus mengalir dan menunggu keputusan   musyawarah keluarga 
ndalem Mbah Yahi.
Begitulah sekilas "manaqib" Hadratul Mukarram Al Ghauts, Shulthonul   Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid QS wa RA Muallif Shalawat   Wahidiyah, Mujaddid, Reformis Akhlak, Pahlawan Pembebas Nafsu yang gelar   kepahlawanannya bukan direkomendasi oleh pejabat pemerintah melainkan   direkomendasi langsung oleh Allah SWT. Semoga kita semua bisa   meneladaninya. Amiin. (Vety Arovah, dari berbagai sumber).