Habib Salim Bin Hafiz


Habib Salim Bin Hafiz Bin Syaikh Abu Bakar bin Salim ialah datuk kepada Habib ‘Umar bin Muhammad Bin Hafiz yang masyhur dewasa ini. Beliau lahir di Bondowoso, Pulau Jawa pada 25 Syawwal 1288H / 6 Januari 1872M. Kemudian beliau dibawa ayahandanya balik ke Kota Misythah, Hadhramaut ketika beliau berusia kira-kira 8 tahun. Beliau menerima didikan awal daripada ayahnya dan beberapa ulama di Kota Misythah antaranya dengan Mu’allim ‘Abud bin Sa’id BaSyu’aib dan Mu’allim ‘Abdullah bin Hasan BaSyu’aib. Pada 1304H, beliau meneruskan pencarian ilmunya dengan mendatangi Kota Tarim al-Ghanna. Di kota berkat ini, beliau menimba pengetahuan agama daripada para ulama di sana antaranya Mu’allim ‘Abdullah bin Ahmad BaGharib dan Habib ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur. Selain Kota Tarim, beliau turut mengadakan perjalanan sama ada untuk mendalami ilmunya juga untuk menyebarkan ilmu dan dakwah ke Seiwun, Du’an, al-Haramain, Zanzibar, Mombasa, India dan tidak ketinggalan tanah kelahirannya, Pulau Jawa.
Di negeri-negeri yang dikunjunginya, beliau tidak melepaskan peluang untuk mengadakan pertemuan dan menjalinkan hubungan dengan para ulama dan awliya’ yang menetap di sana. Hasil pertemuan dan hubungan ini, baik berupa wasiat, nasihat dan ijazah beliau kumpulkan dalam satu catatan yang dinamakannya “Minhah al-Ilah fil ittishal bi ba’dhi awliya”. Habib Salim terkenal sebagai seorang ulama yang bersifat khumul yang tidak suka namanya dikenali orang. Apa yang penting baginya ialah keredhaan Allah s.w.t., dan bukannya penghargaan manusia. Di akhir hayatnya, sifat khumul ini semakin terserlah bila beliau sentiasa berusaha bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan dirinya dalam majlis-majlis umum dengan duduk di shaf yang paling belakang. Beginilah sikap beliau sehingga beliau dipanggil pulang ke rahmatUllah pada tahun 1387H di Kota Misythah. Walaupun beliau tidak meninggalkan karya ilmiyyah yang banyak, tetapi perjuangannya diteruskan zuriatnya antaranya oleh anakandanya Habib Muhammad bin Salim dan kini teruskan oleh cucu-cucunya Habib ‘Umar bin Muhammad dan Habib ‘Ali Masyhur bin Muhammad. Moga rahmat Allah sentiasa dicucuri ke atas roh beliau dan ditempatkan beliau bersama nendanya Junjungan Nabi s.a.w..
Sumber http://tamanhabaib.blogspot.com/2008/06/habib-salim-bin-hafiz.html

Agustus 11, 2008

Habib Muhammad bin Salim


Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Abdullah bin Abu Bakar bin ‘Aydrus bin ‘Umar bin ‘Aydrus bin ‘Umar bin Abu Bakar bin ‘Aydrus bin al-Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah seorang tokoh ulama ahlil bait kelahiran Tarim, Hadhramaut. Beliau dilahirkan dalam tahun 1332H. Selain berguru dengan ayahandanya yang terkenal alim, beliau juga turut berguru dengan Habib ‘Ali bin ‘Abdur Rahman al-Masyhur, Habib ‘Abdullah bin ‘Umar asy-Syathiri, Habib ‘Alwi bin ‘Abdullah bin Syihab dan ramai lagi ulama Hadhramaut. Beliau juga telah mengembara ke Haramain, India, Pakistan dan lain-lain tempat dengan tujuan menuntut ilmu. Akhirnya beliau kembali ke Tarim dan mendirikan majlis-majlis ta’lim di sana selain menjalankan usaha dakwah ke daerah-daerah luar. Beliau juga telah mengarang kitab-kitab antaranya “Takmilah Zubdatul Hadits fil Faraidh” dan “al-Miftah li Babin Nikah”. Atas ketinggian ilmu dan akhlak serta kewarakannya, beliau dipilih menjadi Mufti Kota Tarim al-Ghanna.
Sekalipun dilantik menjadi Mufti, beliau tetap bersikap tawadhu dan amat menghormati para gurunya dan para ulama lainnya. Hari-harinya dihabisi dengan berbagai amal ibadah dan menyampaikan ilmu, sehingga pernah dalam satu hari beliau mengendali dan hadir 16 majlis – majlis ilmu. (Allahu … Allah … lihat diri kita, satu majlis ta’lim seminggu sekali pun payah …Allahu … Allah).
Dalam menyampaikan dakwah, Habib Muhammad terkenal lantang dalam menyeru umat kepada jalan Allah dan syariatNya. Vokalnya dalam menyampaikan kebenaran tidak dapat dihalang sehingga dengan kepala diacukan pistol beliau telah menyatakan kebenaran tanpa takut dan gentar. Hal ini membuat gusar pemerintah pemberontak komunis pada waktu itu, sehingga pada bulan Dzul Hijjah 1392H tatkala beliau dan anakandanya Habib Umar yang baru berusia 9 tahun beri’tikaf dalam Masjid Jami` Tarim menunggu masuk waktu sholat Jumaat, Habib Muhammad telah dijemput oleh 2 orang polis dan dibawa ke balai yang berdekatan. Sehingga usai sholat Jumaat, Habib Muhammad tidak kembali lagi. Sejak saat itu tidak ada khabar berita mengenai beliau dan tidak diketahui samada beliau telah wafat atau masih hidup. Ramai yang percaya bahawa beliau telah dibunuh syahid oleh pemberontak komunis tersebut kerana khuatir akan pengaruh dan kelantangan beliau. Kini perjuangan dakwahnya diteruskan oleh murid-murid dan zuriat beliau, antaranya yang masyhur ialah Habib ‘Umar Bin Hafidz. Mudah-mudahan Allah melimpahkan keredhaanNya ke atas Habib Muhammad Bin Hafidz dan memberikan kepada kita sekalian keberkatan dan manfaat ilmunya.
Sumber http://tamanhabaib.blogspot.com/2008/06/habib-muhammad-bin-salim.html

KH. Mukhtar Syafaat

Juli 13, 2008
Saya posting artikel ini karena ternyata Kh Mukhtar Syafaat mbahnya teman saya Habib Annas . Sebuah keluarga yang turun menurun diberkahi oleh Allah untuk menjadi pewaris Rasulullah SAW. Semoga Allah merahmati dengan kasih sayang NYA.

KH. Mukhtar Syafaat



Ulama Panutan Umat
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi
Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
Sumber http://ajisetiawan.blogspot.com/2007/01/kh-mukhtar-syafaat.html

Sekilas Riwayat Syaikh Ahmad Jauhari Umar

Juli 9, 2008
Diantara rekan pembaca ada yang menginginan sekilas riwayat hidup Syaikh Ahmad Jauhari umar. Oleh karena itu dengan segala kekurangan kami ketengahkan di sini sekilas riwayat Syaikh Ahmad Jauhari Umar Penyiar amalan manakib Jawahirul Ma’any.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jum’at legi tanggal 17 Agustus 1945 jam 02.00 malam, yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur. Sebelum berangkat ibadah haji, nama beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo.
Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari tafsir Al-Qur’an baik ma’na maupun nasakh mansukhnya.
Masih diantara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah : Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga. Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, Wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh meminum kopi dan makan diwarung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan membimbing.
Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu menghormati para ulama. Jika sowan (berkunjung) kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau jajan (oleh-oleh). Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufa’at Blok Agung Banyuwangi hingga KH. Dimyathi Pandegelang Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar.
Sebenarnya, Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah menganut faham wahabi bahkan sampai menduduki posisi wakil ketua Majlis Tarjih Wahabi Kaliwungu. Adapun beberapa hal yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar pindah dari faham wahabi dan menganut faham ahlussunah diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Beliau pernah bermimpi bertemu dengan kakek beliau yaitu KH. AbduLlah Sakin yang wafat pada tahun 1918 M, beliau berwasiyat kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa yang benar adalah faham ahlussunah.
2. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah bertemu dengan KH Yasin bin ma’ruf kedunglo kediri, pertemuan itu terjadi di warung / rumah makan Pondol Pesantren Lirboyo Kediri yang berkata kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa Syaikh Ahmad Jauhari Umar kelak akan menjadi seorang ulama yang banyak tamunya. Dan ucapan KH Yasin tersebut terbukti, beliau setiap hari menerima banyak tamu.
3. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah berjumpa dengan Sayyid Ma’sum badung Madura yang memberi wasiyat bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar banyak santrinya yang berasal dari jauh. Dan hal itu juga terbukti.
4. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan KH Hamid AbdiLlah Pasuruan, beliau berkata bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar akan dapat melaksanakan ibadah haji dan menjadi ulama yang kaya. Dan terbukti beliau sampai ibadah haji sebanyak lima kali dan begitu juga para putera beliau.
Hal tersebutlah yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar menganut faham ahlussunah karena beliau merasa heran dan ta’jub kepada para ulama ahlussunah seperti tersebut di atas yang dapat mengetahui hal-hal rahasia ghaib dan ulama yang demikian ini tidak dijumpainya pada ulama-ulama golongan wahabi.
Dalam menghadapi setiap cobaan yang menimpa, Syaikh Ahmad Jauhari Umar memilih satu jalan yaitu mendatangi ulama. Adapun beberapa ulama yang dimintai do’a dan barokah oleh beliau diantaranya adalah :
1. KH. Syufa’at Blok Agung Banyuwangi.
2. KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri.
3. KH. Marzuki Lirboyo Kediri.
4. KH. Dalhar Watu Congol Magelang.
5. KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang.
6. KH. Dimyathi Pandegrlang Banten.
7. KH. Ru’yat Kaliwungu.
8. KH. Ma’sum Lasem.
9. KH. Baidhawi Lasem.
10. KH. Masduqi Lasem.
11. KH. Imam Sarang.
12. KH. Kholil Sidogiri.
13. KH Abdul Hamid AbdiLlah Pasuruan.
Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah kitab “Jawahirul Hikmah”.
Kemudian beliau mengembara ke makam – makam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan ‘MANAKIB JAWAHIRUL MA’ANY’ dimana amalan manakib Jawahirul Ma’any tersebut saat ini tersebar luas di seluruh Indonesia karena banyak Fadhilahnya
, bahkan sampai ke negara asing seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Pakistan, tanzania, Afrika, Nederland, dll.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam segala hal. Bahkan ketika putera beliau masih berada di dalam kandungan, beliau diusir oleh keluarga isteri beliau sehingga harus pindah ke desa lain yang tidak jauh dari desa mertua beliau kira-kira satu kilometer. Ketika putera beliau berumur satu bulan, beliau kehabisan bekal untuk kebutuhan sehari-hari kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar memerintahkan kepada isteri beliau untuk pulang meminta makanan kepada orang tuanya. Dan Syaikh Ahmad Jauhari Umar berkata, “Saya akan memohon kepada Allah SWT”. Akhirnta isteri beliau dan puteranya pulang ke rumah orang tuanya.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha dan dilanjutkan membaca manakib Jawahirul Ma’any. Ketika tengah membaca Manakib, beliau mendengar ada orang di luar rumah memberikan ucapan salam kepada beliau, dan beliau jawab di dalam hati kemudian beliau tetap melanjutkan membaca Manakib Jawahirul Ma’any hingga khatam. Setelah selesai membaca Manakib, maka keluarlah beliau seraya membukakan pintu bagi tamu yang memberikan salam tadi.
Setelah pintu terbuka, tenyata ada enam orang yang bertamu ke rumah beliau. Dua orang tamu memberi beliau uang Rp 10.000, dan berpesan supaya selalu mengamalkan Manakib tersebut. Dan sekarang kitab manakib tersebut sudah beliau ijazahkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat agar kita semua dapat memperoleh berkahnya. Kemudian dua tamu lagi memberi dua buah nangka kepada beliau, dan dua tamu lainnya memberi roti dan gula.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar selalu melaksanakan pesan tamu-tamu tersebut yang menjadi amalan beliau sehari-hari. Tidak lama setelah itu, setiap harinya Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah senanyak Rp. 1.500 hingga beliau berangkat haji untuk pertamakali pada tahun 1982.
Kemudian pada tahun 1983 Syaikh Ahmad Jauhari Umar menikah dengan Sa’idah putri KH As’ad Pasuruan. Setelah pernikahan ini beliau setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 3.000 mulai tahun 1983 hingga beliau menikah dengan puteri KH. Yasin Blitar.
Setelah pernikahan ini Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.11.000 sampai beliau dapat membanun masjid. Selesai membangun masjid, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 25.000 hingga beliau membangun rumah dan Pondok Pesantren.
Setelah membangun rumah dan Pondok Pesantren, Syaikh Ahmad Jauhari Umar tiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.35.000 hingga beliau ibadah haji yang kedua kalinya bersama putera beliau Abdul Halim dan isteri beliau Musalihatun pada tahun 1993.
Setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1993, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 50.000 hingga tahun 1995 M. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar melaksanakan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama putera beliau Abdul Hamid dan Ali Khazim, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 75.000 hingga tahun 1997.
Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1997 bersama putera beliau HM Sholahuddin, Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah setiap hari Rp. 200.000 hingga tahun 2002.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar berangkat haji yang ke limakalinya bersama dua isteri dan satu menantu beliau, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp. 300.000 sampai tahun 2003 M.
Di Pasuruan, Syaikh Ahmad Jauhari Umar mendirikan Pondok Pesantren tepatnya di Desa Tanggulangin Kec. Kejayan Kab. Pasuruan yang diberi nama Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo.
Di desa tersebut Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi tanah oleh H Muhammad seluas 2.400 m2 kemudian H Muhammad dan putera beliau diberi tanah oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar seluas 4000m2 sebagai ganti tanah yang diberikan dahulu.
Sejak saat itu Syaikh Ahmad Jauhari Umar mulai membangun masjid dan madrasah bersama masyarakat pada tahun 1998. namun sayangnya sampai empat tahun pembangunan masjid tidak juga selesai. Akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar memutuskan masjid yang dibangun bersama masyarakat harus dirobohkan, demikian ini atas saran dan fatwa dari KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang Jawa Tengah (Mbah Mangli – almarhum), dan akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar membangun masjid lagi bersama santri pondok. AlhamduliLlah dalam waktu 111 hari selesailah pembanginan masjid tingkat tanpa bantuan masyarakat. Kemudian madrasah-madrasah yang dibangun bersama masyarakat juga dirobohkan dan diganti dengan pembangunan pondok oleh santri-santri pondok
Maka mulailah Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengajar mengaji dan mendidik anak-anak santri yang datang dari luar daerah pasuruhan, hingga lama kelamaan santri beliau menjadi banyak. Pernah suatu hari Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengalami peristiwa yang ajaib yaitu didatangi oleh Syaikh Abi Suja’ pengarang kitab Taqrib yang mendatangi beliau dan memberikan kitab taqrib dengan sampul berwarna kuning, dan kitab tersebut masih tersimpan hingga sekarang. Mulai saat itu banyak murid yang datang terlebih dari Jawa Tengah yang kemudian banyak menjadi kiyahi dan ulama.
Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar :
a. Dari ayah beliah adalah sbb :
1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2. H. Thohir/Muhammad Ishaq bin
3. Umarudin bin
4. Tubagus Umar bin
5. AbduLlah Kyai Mojo bin
6. Abu Ma’ali Zakariya bin
7. Abu Mafakhir Ahmad Mahmud Abdul qadir bin
8. Maulana Muhammad Nasiruddin bin
9. Maulana Yufus bin
10. Hasanuddin Banten bin
11. HidayatuLlah Sunan Gunung Jati bin
12. AbduLlah Imamuddin bin
13. Ali Nurul ‘Alam bin
14. Jamaluddin Akbar bin
15. Jalaluddin Syad bin
16. AbduLlah Khon bin
17. Abdul Malik Al-Muhajir Al-Hindi bin
18. Ali Hadzramaut bin
19. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
20. Ali Khola’ Qasim bin
21. Alwi bin UbaidiLlah bin
22. Ahmad Al-Muhajir bin
23. Isa Syakir bin
24. Muhammad Naqib bin
25. Ali Uraidzi bin
26. Ja’far As-Shadiq bin
27. Muhammad Al-Baqir bin
28. Imam Ali Zainal Abidin bin
29. Imam Husain bin
30. Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti
31. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
b. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar dari Ibu :
1 Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2 KH Thahir bin/Moh Ishaq bin
3 Umarudin bin
4 Tuba bin
5 H. Muhammad Nur Qesesi bin
6 Pangeran Bahurekso bin
7 Syeh Nurul Anam bin
8 Pangeran Cempluk bin
9 Pangeran Nawa bin
10 Pangeran Arya Mangir bin
11 Pangeran Pahisan bin
12 Syekh Muhyidin Pamijahan bin
13 Ratu Trowulan bin
14 Ratu Ta’najiyah bin
15 Pangeran Trowulan Wirocondro bin
16 Sulthan AbduRrahman Campa bin
17 Raden rahmat Sunan Ampel bin
18 Maulana Malik Ibrahim bin
19 Jalaluddin bin
20 Jamaludin Husen bin
21 AbduLlah Khon bin
22 Amir Abdul Malik bin
23 Ali Al-Anam bin
24 Alwi Al-Yamani bin
25 Muhammad Mu’ti Duwailah bin
26 Alwi bin
27 Ali Khola’ Qasim bin
28 Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
29 Ali Ba’lawi bin
30 Muhammad Faqih Al-Muqaddam bin
31 AbduLlah AL-Yamani bin
32 Muhammad Muhajir bin
33 ‘Isa Naqib Al-basyri bin
34 Muhammad Naqib Ar-Ruumi bin
35 Ali Uraidzi bin
36 Ja’far Shadiq bin
37 Muhammad Al-baqir bin
38 Ali Zainal Abidin bin
39 Husein As-Sibthi bin
40 Sayyidatinaa Fatimah Az-Zahra bin
41 Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
Meskipun beliau telah berpulang ke RahmatuLlah semoga Beliau mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya, dan berkah beliah selalu mengalir kepada kita semua….Amin
‘Referensi …Buku Sejarah Perjuangan Syaikh Ahmad Jauhari umar..Penyiar Kitab Manakib Jawahirul Ma’any.
Sumber http://manakib.wordpress.com/category/manakib-aulia-yang-lain/

Leave a Reply

come my plaze