As salaamu ‘alal Hussain wa ‘ala ‘Ali ibnil Hussain
wa ‘ala Awlaadil Hussain wa ‘ala Ashaabil Hussain..
Jawara Jawara Karbala akan saya coba turunkan bertahap, dimulai dari Para Syuhada Bany Hasyim yang berjumlah 18 Orang
Imam Sajjad As Berkata : “Tiada yang menyamai Para Syuhada Bany Hasyim di muka bumi ini”
lalu berlanjut pada para Sahabat Imam Suci
baru kepada para Pribadi Agung yang tidak terukir namanya karena mengharapkan syurga atas keikhlasannya pada Imam semata
Para Syuhada Agung Bany Hasyim
1. Imam Hussain Bin Ali bin Abi Thalib As
Imam Husein As menyandang banyak, seperti ar-Rasyid, al-Wafi, az-Zaki, Beliau As dilahirkan di Madinah pada tanggal 3 Sya’ban tahun ke-3 H (Tarikh Ibn Asakir, Maqatil Ath-Thalibiyyin, Usdul-Ghabah dan Majma’ az-Zawa’id), atau pada tahun ke-4 H (Al-Isti’ab dan Al-Kafi).
Ketika mendengar bahwa putrinya, Sayyidah Fathimah telah melahirkan bayi yang dinanti-nanti itu, Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam I’lam Al-Wara, segera bergegas ke rumah menantunya, Ali as. Sesampainya di sana, Beliau meminta Asma binti Umays, wanita yang mengabdikan dirinya sebagai pembantu Fathimah, untuk menyerahkannya. Nabi pun menggendongnya lalu membungkusnya dengan sepotong kain putih lalu mendekapnya, kemudian mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang berpendar-pendar itu.
Tiba-tiba raut wajah manusia teragung itu menampakkan kesedihan dan matanya melinangkan air bening. Ketika ditanya sebabnya oleh Asma’, beliau menjawab: “Hai Asma’, ia akan dibunuh oleh gerombolan pembangkang setelah wafatku. Allah tidak akan memberikan syafaatku kepada mereka.”
2. Ali Akbar Bin Hussain
Ali Akbar bin Al-Husain as, dengan julukan Abul Hasan, Seorang pemuda mulia dan gagah berani dari keturunan Abu Thalib. Ibunya bernama Laila binti Abi Murrah (Qurrah) bin ‘Urwah (’Amr) bin Mas’ud bin Mughits (Ma’bad) Al-Tsaqafi. Ibu Laila bernama Maimunah binti Abu Sufyan bin Harb. Saat itu beliau berumur 27 tahun. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau ( Ali Akbar ) telah menikah dengan seorang wanita bekas budak. Beliaulah orang pertama dari Bani Hasyim yang terbunuh dalam peristiwa Karbala oleh tusukan pedang Murrah bin Munqidz bin Nu’man Al-’Abdi, pada saat membela dan membentengi ayahnya dari serangan musuh. Para sahabat setia Imam Husein as.. segera mengejar Murrah dan menghabisinya dengan sabetan pedang mereka. Menurut riwayat, beliau lahir pada masa khilafah Utsman bin Affan. Para ahli sejarah menyebutnya Akbar untuk membedakannya dari adik beliau Ali Zainal Abidin dan Ali Ashghar.
Imam Al Husein As berkata mengenai Putranya Ali Akbar : ” Ya ALLAH.. saksikanlah aku mengirim kepada kaum itu orang yang paling mirip dengan NabiMu dari sisi rupa, akhlak dan tutur katanya. . Dialah obat kerinduan kami kepada Nabi-Mu. Dengan memandanginya kami dapat mengobati kerinduan itu ” {maqtal Khawarizmi}
[Al-Bidayah wa Al-Nihayah 8 hal. 185, Al-A’lam 4 hal. 277]
3a. Ali Asghar Bin Hussain
Ibunya bernama Rubab binti Imruul Qais bin ‘Adi bin Aus. Bayi tersebut Syahid di bunuh secara Keji oleh Harmalah bin Kahil seorang Musuh ALLAH dengan cara di panah. Usianya saat itu masih 6 Bulan, Namun tidak menyurutkan Manusia berhati Iblis menaruh Iba pada seorang Bayi dan dengan Keji memanahnya dengan Busur beracun..
3b. Abdullah Radhi bin Al Hussein
Dia adalah Abdullah bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dari ibu yang bernama Ummu Ishak binti Thalhah. Riwayat mengatakan bahwa Abdullah Radhi syahid dibunuh saat Imam Suci As selesai mengumandangkan Adzan dan Iqomah di telinga suci bayi tersebut
>> Masih diperlukan pengkajian mendalam mengenai Nama keduanya, karena Simpang siur saksi yang melaporkan belum diperoleh kesatuan keterangan ada berapa bayi di Karbala, Namun semua sepakat bahwa Putra Putra kecil suci Imam Husein As Semua Syahid di Karbala, kecuali Imam Sajjad As yang saat itu sedang sakit keras.
4. Abu Fadhl Abbas Bin Ali - Al Qomar Bany Hasyim - Pemegang Panji Karbala
Abul Fadhl Abbas bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Ummul Banin binti Hizam bin Khalid bin Rabi’ah bin Wahid Al-’Amiri. Abbas adalah anak Imam Ali yang pertama dari Ummul Banin. Beliau adalah seorang pemuda tampan yang gemar menunggang kuda gemuk dan besar, sedang kedua kakinya menggeser di tanah. Abbas. juga dikenal dengan sebutan Qamaru Bani Hasyim ( Purnama Bani Hasyim ). Dalam tragedi Karbala beliau mendapat tugas. sebagai pemberi air minum. Sewaktu beliau gugur, panji Al-Husain as. ada di tangannya. Beliau merupakan orang terakhir yang gugur dari saudara-saudara kandungnya. Pembunuhnya adalah Zaid bin Raqqad Al-Janbi dan Hakim bin Thufail Al-Tha’i Al-Nabsi. Kedua orang ini mendapatkan luka kutukan di tubuh masing-masing.
5. Abdullah Bin Ali
Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, ibu beliau bernama Ummul Banin binti Hizam. Pada saat terbunuh usia beliau 25 tahun. Kakaknya bekata kepadanya, “Majulah ke depanku, supaya aku dapat mengawasimu! ..” Beliau dibunuh oleh Hani bin Tsubait Al-Hadhrami. Pendapat lain mengatakan bahwa pembunuhnya adalah Khauli bin Yazid Al-Ashbahi dengan panahnya yang dilanjutkan dengan tebasan pedang seorang dari Bani Tamim.
6. Jafar Bin Ali
Ja’far bin Ali bin Abi Thalib as., ibunya bernama Ummul Banin. Usianya ketika terbunuh sembilan belas tahun. Pembunuhnya adalah Khauli bin Yazid Al-Ashbahi. Pendapat lain menyebutkan Hani bin Tsubait Al-Hadhrami.
7. Usman Bin Ali
Utsman bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Ummul Banin binti Hizam. Ketika terbunuh usianya 21 tahun. Khauli bin Yazid Al-Ashbahi melemparnya dengan panah hingga melemah. Lalu seorang dari Bani Abban bin Darim menebas kepalanya. Utsman inilah yang dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali as. berkata, “Anak ini kuberi nama Utsman, nama saudaraku Utsman bin Madh’un. Dalam riwayat lainnya, Hubairah bin Murim mengatakan, “Ketika kami sedang duduk bersama Imam Ali as., Imam Ali As memanggil anaknya yang bernama Utsman lalu berkata, “Aku tidak memberinya nama Utsman si khalifah, tetapi nama saudaraku Utsman bin Madh’un.”
8. Abu Bakar Bin Ali
Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Laila Darimariyah. Ketika terbunuh usianya belum genap 20 tahun. Pembunuhnya bernama Fudhail Al-Azdi
9. Abu Bakar Bin Hasan Bin Ali
Abu Bakar bin Hasan Bin Ali adalah Seorang pemuda tertua putra Imam Hasan As yang saat di karbala usia beliau masih 16 Tahun.
10. Qasim Bin Hasan Bin Ali
Jika Kalian tidak mengenalku, Akulah Putra al Hasan, Cucu Nabi terpilih dan terpercaya, Inilah Husein tidak ubahnya tawanan terpenjara, Diantara orang orang yang tidak ALLAH turunkan Rahmat kepadanya.
Al Qosim bin Hasan Bin Ali bin Abithalib adalah pemuda tampan yang usianya saat itu masih 13 saat membela pamannya al Husein As di padang Karbala.
11. Abdullah Bin Hassan
Abdullah bin Hasan bin Ali bin abi Thalib adalah pemuda yang baru berusia 13 tahun, Ia Syahid dalam pangkuan Paman Beliau Al Husein As setelah Orang Munafiq membunuhnya secara keji.
12. Aun bin Abdullah Bin Jafar
13. Muhammad Bin Abdullah bin Jafar
14. Abdullah Bin Muslim Bin Aqil
15. Mohammad bin Muslim
16. Mohammad Bin Said bin Aqil
17. Abdul Rahman Bin Aqil
18. Jafar Bin Aqil
Ketujuh Belas Jasad Mulia ini sekarang terbaring mengelilingi Imam Husein As di Karbala.
Sumber http://mujahid-aqli.blogspot.com/2009/01/para-syuhada-agung-karbala.html

Nasab Rasulillah Saww Bersih

Posted February 9, 2009 * Comments(0)

 



Isu ini terangkat kala sebagian umat islam mengaku pengikut Rasulillah Saww justru memusyriknya ayahanda Rasulullah Saww. (Innalillah..)
Dalam menjawabnya saya sampaikan 2 jawaban sekaligus bahwa :
Nama ayahanda Rasulullah Saww adalah Sayyidina Abdullah bin Abdul Muthalib r.a yang artinya Hamba ALLAH.
Definisinya jelas bahwa ayahanda Rasul Saww sangat mengenal ALLAH AWJ
karena nama ini yang membedakan antara penyembah berhala dengan penyembah Illah SWT.
Contoh Nama nama Jahiliyah (mirip mirip Tuhan mereka Latta dan Udza):
Uta, Abul Udza, dll
Jadi jelaslah bahwa Ayahanda Mulia Ar Rasul Saww bukan seperti claim mereka..!
Ayah Nabi Ibrahim As tidak Kafir
Banyak orang yang memaknai bahwa Azar adalah ayahnya Nabi Ibrahim demi memuluskan upaya mereka menampilkan ‘cacatnya’ Nasab Nabi Saww.
Namun sekali Lagi Hujjah ALLAH AWJ membungkam sekaligus membongkar kebohongan bertingkat kaum hipokrit pendengki Ar Rasul Saww..
Dalam Nasab Umum inilah Nasab Ayahanda Rasul Saww :
Sayyidina Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hâsyim (AMR) bin ‘Abd al-Manâf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu ‘ Ayy bin Isma ‘ell (Ismail) bin ibrahim bin Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh bin Lamik bin Metusyalih bin Idris bin Yarid bin Mihla’iel bin Qinan bin Anusy bin Syith bin Adam A.S
Rantai Nasab diatas ada Nama Azar {tarih}
sesungguhnya keduanya adalah orang yang berbeda. Azaar adalah paman Nabi Ibrahim yang bekerja tuk Namrud dalam membuat Patung. Sedang Tarikh adalah Ayahanda Nabi Ibrahim As.
Lamanya sejarah serta berlapisnya pengkaburan membuat orang sulit mencari jawaban siapa Ayah Nabi Ibrahim As sebenarnya, Padahal Jawabannya ada di Depan mata
Kuncinya ada pada QS al An’am ayat 74 dalam kata Ab’ (ayah dalam makna luas)
Penggunaannya :
Abu jabir (ayah Jabir)
Abu Abdillah (ayah Hamba Allah)
atau :
Abaaika (Kakek)
metode ini sederhana, namun banyak yang tidak faham, artinya penggunakaan kata ab’ pada orang tertentu tidak menyatakan bahwa orang tersebut adalah Ayah dalam nasab.
Dalil yang dijadikan sebagai dasar pengkafiran ayah Nabi Ibrahim adalah ayat yang menyebutkan Azar sebagai ” ab ” Ibrahim. Misalnya :
” Ingatlah ( ketika ), Ibrahim berkata kepada ” ab “nya Azar, ” Apakah anda menjadikan patung-patung sebagai tuhan ?. Sesungguhnya Aku melihatmu dan kaummu berada pada kesesatan yang nyata “.( al An’am 74 ).
Atas dasar ayat ini, ayah Ibrahim yang bernama Azar adalah seorang kafir dan sesat. Kemudian ayat lain yang memuat permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya ditolak oleh Allah dikarenakan dia adalah musuh Allah ( al Taubah 114). Dalam menarik kesimpulan dari ayat di atas dan sejenisnya bahwa ayah nabi Ibrahim adalah seorang kafir sungguh sangat terlalu tergesa-gesa, karena kata ” abun ” dalam bahasa Arab tidak hanya berarti ayah kandung saja.
Kata ab’ bisa juga berarti, ayah tiri, paman, dan kakek.
contoh lain
Misalnya al Qur’an menyebutkan Nabi Ismail sebagai ” ab ” Nabi Ya’kub as., padahal beliau adalah paman NabiYa’kub as.
“Adakah kalian menyaksikan ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya, ” Apa yang kalian sembah sepeninggalku ? “. Mereka menjawab, ” Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, Tuhan yang Esa, dan kami hanya kepadaNya kami berserah diri “.( al Baqarah 133 )
Dalam ayat ini dengan jelas kata “aabaaika ” bentuk jama’ dari ” ab ” berarti kakek ( Ibrahim dan Ishak ) dan paman ( Ismail ).
Dan juga kata ” abuya ” atau ” buya ” derivasi dari ” ab ” sering dipakai dalam ungkapan sehari-hari bangsa Arab dengan arti guru, atau orang yang berjasa dalam kehidupan, termasuk panggilan untuk almarhum Buya Hamka, misalnya.
Dari keterangan ringkas ini, kita dapat memahami bahwa kata ” ab ” tidak hanya berarti ayah kandung, lalu bagaimana dengan kata ” ab ” pada surat al An’am 74 dan al Taubah 114 ?
Dengan melihat ayat-ayat yang menjelaskan perjalanan kehidupan Nabi Ibrahim as. akan jelas bahwa seorang yang bernama ” Azar “, penyembah dan pembuat patung, bukanlah ayah kandung Ibrahim, melainkan pamannya atau ayah angkatnya atau orang yang sangat dekat dengannya dan Ia adalah pembuat Patung tuk Raja Namrud
Pada permulaan dakwahnya, Nabi Ibrahim as. mengajak Azar sebagai orang yang dekat dengannya, “Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka Tuhan yang Maha Pemurah ” ( Maryam 44 ).
Namun Azar menolak dan bahkan mengancam akan menyiksa Ibrahim. Kemudian dengan amat menyesal beliau mengatakan selamat jalan kapada Azar, dan berjanji akan memintakan ampun kepada Allah untuk Azar. ” Berkata Ibrahim, ” Salamun ‘alaika, aku akan memintakan ampun kepada Tuhanku untukmu ” ( Maryam 47 ).
Kemudian al Qur’an menceritakan bahwa Nabi Ibrahim As menepati janjinya untuk memintakan ampun untuk Azar seraya berdoa,
” Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan gabungkan aku bersama orang-orang yang saleh. Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah ayahku ( abii ), sesungguhnya ia adalah termasuk golongan yang sesat. Jangnlah Kamu hinakan aku di hari mereka dibangkitkan kembali, hari yang mana harta dan anak tidak memberikan manfaat kecuali orang yang menghadapi Allah dengan hati yang selamat “.(al Syua’ra 83-89 ).
Allamah Thaba’thabai menjelaskan bahwa kata ” kaana ” dalam ayat ke 86 menunjukkan bahwa doa ini diungkapkan oleh Nabi Ibrahim as. setelah kematian Azar dan pengusirannya kepada Nabi Ibrahim as. ( Tafsir al Mizan 7/163).
Setelah Nabi Ibrahim as. mengungkapkan doa itu, dan itu sekedar menepati janjinya saja kepada Azar, Allah AWJ menyatakan bahwa tidak layak bagi seorang Nabi memintakan ampun untuk orang musyrik, maka beliau berlepas tangan ( tabarri ) dari Azar setelah jelas bahwa ia adalah musuh Allah swt. (lihat surat al Taubah 114 )
Walid = Ayah Nasab (kandung)
·                  Bedakan dengan kata walid (sebutan ayah dalam makna nasab/ kandung) seperti doa yang diajarkan Khalil ALLAH Ibrahim As. dan Doa ini muktabar dikalangan kita. Jelaslah bahwa Walid menunjukkan bahwa ia menuju pada Orang tua asli (kandung)
Ketika Nabi Ibrahim datang ke tempat suci Mekkah dan besama keturunan membangun kembali ka’bah, beliau berdoa,
“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua walid- ku dan kaum mukminin di hari tegaknya hisab”( Ibrahim 41 ).
Kata ” walid ” hanya mempunyai satu makna yaitu yang melahirkan.
Dan yang dimaksud dengan ” walid ” disini tidak mungkin Azar, karena Nabi Ibrahim telah ber-tabarri (berlepas diri) dari Azar setelah mengetahui bahwa ia adalah musuh Allah (al taubah 114)
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan walid disini adalah orang tua yang melahirkan beliau, dan keduanya adalah orang-orang yang beriman. Selain itu, kata walid disejajarkan dengan dirinya dan kaum mukminin, yang mengindikasikan bahwa walid- beliau bukan kafir. Ini alasan yang pertama.
·                  Alasan yang kedua, adalah ayat yang berbunyi, ” Dan perpindahanmu ( taqallub) di antara orang-orang yang sujud “.( al Syua’ra 219 ). Sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah bahwa diri nabi Muhammad saww. berpindah-pindah dari sulbi ahli sujud ke sulbi ahli sujud.
Artinya ayah-ayah Nabi Muhammad dari Abdullah sampai Nabi Adam adalah orang-orang yang suka bersujud kepada Allah. (lihat tafsir al Shofi tulisan al Faidh al Kasyani 4/54 dan Majma’ al Bayan karya al Thabarsi 7/323 ).
Nabi Ibrahim as. beserta ayah kandungnya termasuk kakek Nabi Muhammad saww. Dengan demikian, ayah kandung Nabi Ibrahim as. adalah seorang yang ahli sujud kepada Allah swt.
Tentu selain alasan-alasan di atas, terdapat bukti-bukti lain dari hadis Nabi yang menunjukkan bahwa ayah kandung Nabi Ibrahim as. bukan orang kafir.
Hingga timbul Pertanyaan Besar Siapa Ayah kandung Nabi Ibrahim As ?
As Sayyid Nikmatullah al Jazairi menjawabnya dalam kitab an Nur al Mubin fi Qashash al An biya wal Mursalin hal 270 mengutip az Zujjaj bahwa Ayahanda Nabi Ibrahim As bernama Tarikh
Salam atas Khalil ALLAH yang suci..
Salam atas Nabi ALLAH Ibrahim alaihissalam..
Source :
Dinukil dari Buletin al Jawad edisi 1421 dan Kitab Adam hingga Isa (Sayyid Jazairi)
Sumber http://mujahid-aqli.blogspot.com/2009/01/nasab-rasulillah-saww-bersih.html

Marga Al-Segaff (As-Seggaf)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali di juluki (digelari) “Asseggaf” ialah Waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
So’al gelar (julukan) “Asseggaf” yang disandangnya itu karena Waliyullah Abdurrahman Asseggaf diketahui sebagai Pengayom para Wali pada zamannya.
Diibaratkan sebagai Atap (piyan) bangunan: yang dalam bahasa Arab disebut “Sagfun”. Beliau sendiri sebenarnya berusaha menutupi kebesaran Martabatnya itu (karena tawaddu’nya) ;
namun para Wali di zaman itu memproklamasikan beliau sebagai Pemimpin dan Pembimbing para Wali.
Beliau dilahirkan dikota Tarim Hadramaut (Yaman Timur-Tengah).
Dikaruniai 13 anak lelaki dan 7 anak perempuan. dari ke 13 anak lelakinya tersebut hanya 7 orang yang melanjutkan keturunannya.
Masing-masing adalah :
Abubakar Assakran,
Alwi ,
Ali ,
A’Qil,
Abdullah,
Husein,
Ibrahim.
Waliyyullah Abdurrahman Asseggaf bin Muhammad Mauladdawilah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 819 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada” para Auliya dan para Sholihin.
Amin !.
BIBLIOGRAPHY

Marga Al-Aydid (Aidid)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Aydid” adalah Habib Muhammad Maula Aydid bin Ali Al-Huthah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih.
Soal gelar yang disandangnya, karena beliau bermukim di “dusun Aydid” yang terletak di daerah pegunungan dekat kota Tarim.
Dusun ini pada mulanya merupakan tempat yang sangat ditakuti oleh penduduk sekitarnya, karena dihuni banyak mahluk halus yang jahat sehingga setiap orang yang kesana pasti tidak bisa kembali lagi.
Hingga pada suatu malam yang gelap gulita penduduk disekitar tempat tersebut dikejutkan dengan munculnya suatu cahaya yang terang benderang diatas dusun tersebut, dan setelah dekat ternyata cahaya tersebut berasal dari tubuh Habib Muhammad Maula Aydid. akhirnya dusun yang sangat ditakuti tersebut kemudian menjadi dusun yang sangat aman dan makmur.
Dimana penduduk dusun tersebut mengangkat Habib Muhammad bin Ali Al-Huthah
sebagai penguasa (Maula) dusun Aidid tersebut dengan Gelar Muhammad Maula Aydid.
Beliau dilahirkan di kota Tarim (Hadhramaut), dan dikarunia 6 orang Putera, hanya 3 diantaranya yang melanjutkan keturunan beliau, yaitu :
Abdullah.
Abdurrahman. Kedua beliau ini digelari (dijuluki) Ba-Fagih yang kemudian menjadi leluhur Al-Bafagih.
Ali, tetap dijuluki (digelari) Aydid, yang kemudian menjadi leluhur keluarga Al-Aydid.
Habib Muhammad Maula Aydid wafat di kota Tarim (Hadhramaut) pada tahun 862 Hijriyah.
Wallahualam
BIBLIOGRAPHY

Marga Al-Aydrus

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Aydrus” adalah Habib Abdullah bin Abu Bakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah.
Soal gelar “Al-Aydrus” berasal dari kata “Utaiyrus” yang berarti bersifat seperti Macan atau Singa.
Disandangnya, karena semasa kecilnya beliau selalu berani menghadapi apapun juga (baik manusia, binatang, mahluk halus dan sebagainya sehingga oleh kakeknya (Habib Abdurrahman Assegaf) beliau dipanggil (dijuluki) dengan julukan “Utaiyrus”.
Beliau dilahirkan di kota Tarim (Hadhramaut) pada bulan Dzulhijjah tahun 811 H,
dan dikarunia 5 orang Putera, 3 diantaranya yang melanjutkan keturunan beliau, yaitu :
Alwi, menurunkan keturunan Al-Aydrus : Al-Ahmad Al-Muhtabi. Keturunannya berada di Bor, Syam, Dhafar (Hadhramaut) dan di Jawa (Indonesia).
Husein, menurunkan keturunan Al-Aydrus : Al-Umar bin Zain, Al-Ismail, Al-Hazem, Al-Tsibiy, Al-Ma’igab (Menurunkan keturunan : Ahmad Syarim, Hasan bin Abdullah, Abbas bin Abubakar).
Syaikh, menurunkan keturunan Al-Aydrus : Al-Asshalabiyyah dan Ali Zainal Abidin.
Habib Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf wafat
dalam perjalanan dari kota Syihr menuju kota Tarim (Hadhramaut) pada tanggal 12 Ramadhan tahun 865 Hijriyah.
Wallahualam

Marga Al-Kaff

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Kaf” adalah Walliyullah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar Al-Djufri.
So’al gelar yang disandangnya ada 2 versi penyebabnya.
Versi pertama mengatakan bahwa terjadi pertengkaran antara waliyullah Ahmad bin Muhammad dengan seorang yang mengaku dirinya seorang jagoan yang mempunyai kekuatan yang luar biasa, tetapi bisa ditaklukan oleh waliyullah Ahmad bin Muhammad. Dengan kekuatannya tadi maka Beliau oleh masyarakat setempat dijuluki “AlKaf” seperti diketahui kekuatan seseorang itu dalam bahasa Hadramaut disebut “Kaf”.
Versi kedua mengatakan bahwa adanya suatu perkara perkelahian waliyullah Ahmad bin Muhammad dengan seseorang dan dimajukan di Pengadilan, Hakim meminta supaya kedua belah fihak mengisi formulir dengan tanpa menyebutkan namanya masing-masing tetapi diperintahkan untuk menyebutkan sebuah kode. Salah satu huruf abjad Arab dalam huruf tadi, maka waliyullah Ahmad bin Muhammad menulis huruf abjad “Kaf”. Setelah hakim menanyakan siapa yang menulis huruf “Kaf” maka waliyullah menjawab : ’saya yang menulisnya’. Sejak itu Beliau dijuluki masyarakat setempat dengan “AlKaf”
Waliyullah Ahmad bin Muhammad Al-Kaf dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 2 orang anak lelaki yang menurunkan keturunannya, masing-masing bernama Abubakar dan Muhammad.
Waliyullah Ahmad Al-Kaf pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 911 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
Wallahualam
BIBLIOGRAPHY

Marga Al-Attas

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Nasab (Keturunan) al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas
Nama beliau adalah Al-Habib Umar bin Abdurrahman bin Agil bin Salim bin Ubaidullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Syeikh al Ghauts Abdurrahman as-Seggaf bin Muhammad Maulah Dawilah bin Ali bin Alawi al Ghoyur bin Sayyidina al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali binl Imam Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidullah bin Imam al Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad an Naqib binl Imam Ali al Uraidhi bin Jaafar as Shadiq binl Imam Muhammad al Baqir binl Imam Ali Zainal Abidin binl Imam Hussein as Sibith binl Imam Ali bin Abi Thalib dan binl Batul Fatimah az-Zahra binti Rasullullah S.A.W.
Tentang Asal-Usul gelaran name keluarga “Al-Attas”,
Kata al- Habib Ali bin Hassan al-Attas: â
€œSebenarnya apa yang diucapkan oleh Syeikh al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad yaitu bahawa “Beliau dinamakan al-Attas yang bermaksud bersin, kerana beliau pernah bersin ketika masih berada di dalam perut ibunya”, adalah benar, hanya menurut khabar yang paling benar dikatakan bahawa pertama kali bersin ketika masih berada di perut ibunya adalah Habib Aqil yang terkenal hanya Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, sehingga berita itu hanya dikenal pada diri beliau dan anak beliau dan anak cucu Aqil dan Abdullah, saudara beliau. Sedangkan anak cucu Sayyidina Aqil bin Salim yang lain dikenal dengan nama keluarga Aqil bin Salim (ataupun Al Ba Aqil)”.
Waliyullah Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas pulang ke rahmatullah pada tahun 1072 Hijriyyah dan dikenali sebagai Al-Qutb Aal-Anfaas. Dia adalah Syeikh/Ustadh Sayyiduna’l Imam al-Habib Abdallah ibn ‘Alawi Alhaddad, yang digelar al-Qutb ul Irshad.
Semoga Allah SWT memasukkan beliau-beliau ke dalam surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin.
Amin. !
Wallahualam

Marga Al-Haddad

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “AL-HADDAD” ialah Waliyyullah Ahmad bin Abibakar bin Ahmad Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil-Faqih bin Muhammad Shahib Marbad.
So’al gelar yang disandangnya, ada 2 versi penyebabnya :
Versi 1
Karena Beliau sering ketempat ” Pandai Besi ” yang dalam bahasa Arab disebut ” AI-Haddad “.
Versi 2
Sering dikatakan orang “AlHaddadil-Qulub” artinya “Pandai-Kalbu”, Maksudnya karena Waliyyullah Ahmad bin Abibakar Al-Haddad bila berdakwah dalam menginsyafkan seseorang ke jalan yang benar dapat melemahkan kalbu (hati) seseorang itu sekalipun orang tersebut berkalbu (berhati) yang kerasnya bagaikan Besi.
Waliyyullah Ahmad AI-Haddad tak ubahnya sebagai seorang “Pandai-Besi” yang dapat melunakkan besi yang keras sekali.
Waliyyulah Ahmad Al-Haddad dilahirkan dikota Tarim. Dikarunia hanya seorang anak lelaki yang dinamai Alwi. Diantara keturunannya generasi yang ke-31 adalah Waliyyullah AI-Habib Abdullah bin Alwi AI-Haddad, yang tersohor dengan “Ratib-Al-Haddad” nya.
Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad bersaudara dengan Waliyyullah Al-Habib Umar bin Alwi AI-Haddad.
Waliyyullah Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad Al-Masrafah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim sekitar tahun 870 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
Wallahualam

Marga Al-Madihij

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Madihij” adalah Waliyyullah Abdullah bin `Aqil bin Syaich bin Ali bin Abdullah Wadhab bin Muhammad Al-Manfar.
So’al gelar yang disandang Beliau, ada kemungkinan karena Beliau bermukim di suatu tempat yang disebut “Madihij“.
Waliyyuilah Abdullah bin Aqil Al-Madihij dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4orang anak laki-laki, hanya 1 diantaranya yang menurunkan keturunannya yaitu yang bernama `Aqil bin Abdullah bin ‘Aqil.
Waliyyullah Abdullah Al-Madihij pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun970 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memssukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
This was taken by Permission of the Webmaster of Alaminjogja at http://www.alaminjogja.com
Wassalam,

Marga Al-Abu Numaiy

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Abu Numaiy” adalah Waliyyullah Abu Numaiy bin Abdullah bin Syaich bin Ali bin Abdullah Wathab bin Muhammad Al-Manfar.
So’al gelar yang disandangnya karena Beliau adalah satu-satunya anak yang bungsu; maka dijuluki “numaiy” Numaiy artinya Anak Bungsu.
Waliyyullah Abu Numaiy dilahirkan di kota Masy-Gash (Hadramaut). Dikaruniai 3orang anak lelaki, yang masing-masing bernama: Abdullah, Aqil danMuhammad. Beliau-Beliau yang kemudian menurunkan keturunan Al-Abu Numaiy, termasuk yang berada di Indonesia.
Waliyyullah Abu Numaiy pulang ke Rahmatullah di Masy-Gash pada tahun 1020Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Mutahhar (Al-Muthahhar)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki “Al-Muthahhar” adalah waliyyullah Muthahhar bin Abdullah bin Alwi bin Mubarak bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Wathab bin Muhammad Al-Manfar.
Waliyyullah Al-Habib Muthahhar dilahirkan di kota Gasam. Dikaruniai 2 orang anak lelaki. Satu diantaranya yang menurunkan keturunannya yaitu : Abdullah.
Waliyyullah Al-Habib Muthahhar pulang ke Rahmatullah di kota Gasam pada tahun1117 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Mugebel (Al-Muqebel)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “AL-MUGEBEL” adalah waliyyullah Ahmad bin Alwi bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Mauladdawilah.
So’al gelar yang disandangnya belum ada kepastian penyebabnya. Hanya bila dihubungkan dengan arti kata “Mugebel” yang dalam bahasa Arab berasal dari kata “Mugebel” yang kata kerjanya “Agbala” dan kata kerjanya “Al-Iqbal” yang artinya selalu lebih terampil, selalu mau menerima, maka ada kemungkinan Waliyyullah Ahmad Al-Mugebel adalah seorang rendah hati suka menerima apapun yang dimohonkan kepadanya serta lebih terampil dalam segala aspek penghidupan.
Waliyyullah Ahmad Al-Mugebel dilahirkan di Tarim (Hadramaut), dikaruniai 5orang anak lelaki, 2 diantaranya yang bernama Abdurrahman dan Zain yang meneruskan keturunannya, terutama yang kebanyakan berada di Indonesia.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Baraqbah

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Baraqbah” adalah waliyyullah Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
So’al gelar yang disandangnya belum ada kepastiannya. Seperti diketahui kata “Baragbah” berasal dari kata “Ragbah” yang dalam bahasa Arab berarti Pundak. Jadi bila seseorang misalnya mernpunyai pundak yang kuat maka dijuluki “Baragbah” atau si pundak yang kuat.
Apakah kata “Baragbah” yang dimaksud ada hubungannya dengan gelar yang disandang oleh waliyyullah Umar bin Ahmad Ba-Ragbah tersebut ? ataukah ada hubungannya dengan suatu tempat didekat kota Tarim Hadramaut yang banyak ditumbuhi pohon Kurma dimana terdapat banyak sumur-sumur yang oleh penduduk setempat tempat tersebut dinamakan “Baragbah“. Adakah hubungannya tempat tersebut dengan waliyyullah Umar Baragbah ? Wallahu Alamu Bissawab !
Waliyyullah Umar Baragbah dilahirkan di Tarim dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Abdurrahman, yang merupakan leluhur Al-Baragbah dimana keturunannya kebanyakan di Indonesia.
Waliyyullah Umar Baragbah pulang ke Rahmatullah pada tahun 895 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Bin Djindan (Bin Jindan)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) Al Bin Djindan adalah Waliyyullah Djindan bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Syaichan bin Syaich Abi Bakar.
Waliyyullah Djindan dilahirkan di kota Inat (Hadramaut), dikaruniai seorang anak lelaki yang dinamai Abdullah, yang menurunkan keturunan Al-Bin Djindan, yang kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Djindan bin Abdullah Al bin Djindan pulang ke Rahmatullah di Inat sekitar tahun 1140 Hijriyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Maula Chailah

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al Maulachailah” adalah Waliyyullah Abdurrahman bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah.
So’al gelar yang disandangnya karena Beliau bermukim di daerah pegunungan “Chailah” yang tersohor disebelah barat kota Tarim (Hadramaut).
Waliyyullah Abdurrahman Maulachailah dilahirkan di kota Tarim.
Di karuniai 4 orang anak lelaki. Dari ke-4 anak lelakinya hanya seorang yang melanjutkan keturunan Beliau yaitu yang dinamai Sahil, yang dikaruniai anak bernama Muhammad, dan Muhammad bin Sahil dikaruniai 2 orang anak lelaki yang masing-masing bernama :
·                  Umar, keturunannya disebut Sahil Chailah, yang hanya berada dikota Tarim (Hadramaut) saja
·                  Salim, - menurunkan- keturunan “Al-Maulachailah”, yangkebanyakan keturunannya berada di Indonesia (di Palembang; di Pulau Jawa; di Madura dan di Ampenan Bali)
Waliyyullah Abdurrahman Maula Chailah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 914 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Musawa

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
ulukan (gelar) Al-Musawa disandang oleh dua Waliyyullah, masing-masing adalah :
1.               Waliyyullah Ahmad bin Muhammad bin hma bin Abi Bakar Assakran bin Abdurrahman Aseggaf Beliau dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 3 orang anak lelaki, dua diantaranya yang bernama : Yasin dan Husein yang menurunkan keturunannya yang kebanyakan berada di Indonesia. Waliyyulah Ahmad Al-Musawa bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar Assakran pulang ke Rahmatullah di Tarim pada tahun 992 Hijriyyah
2.               Waliyyullah Ahmad AI-Musawa Bahsin bin Abdurrahman bin Husein bin Syaich Abdurrahman Assegaf . Beliau dilahirkan di Tarim, dikaruniai 4orang anak lelaki, 2 diantaranya yang bernama :
1.                        Husein, keturunannya hanya berada di lahij (Yaman) dan
2.                        Abdullah, keturunannya di Indonesia hanya berada di kota Semarang.
Waliyyullah Ahmad Al-Musawa Bahsin pulang ke Rahmatullah di Tarim pada tahun 965 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Jalaludin Ar Rumi

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing –yakni Syamsi Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
Å
WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.”
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.

Marga Al-Bin-Yahya

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Bin Yahya ” adalah Waliyyullah Yahya bin Hasan bin Ali Al-An’naz bin Alwi bin Muhammad Mauladdawilah.
So’al gelar atau nama Yahya yang disandangnya, karena atas pemberian dari ayah Beliau. Yang dengan maksud agar supaya mendapat keberkahan dari Nabi Yahya(`alaihissalam ). Dengan pengharapan semoga Allah SWT selalu menjadikan Beliau kelak seorang Waliyyullah yang dapat menerangi kalbu (hati) yang gersang dengan sinar keimanan. Dimana kemudian menjadi suatu kenyataan bahwa Waliyyullah Yahya bin Hasan menjadi seorang Wali sebagaimana pengharapan ayah Beliau tersebut.
Waliyyullah Yahya bin Hasan dilahirkan di kota Tarim (Hadramaut). Dikaruniai 3orang anak lelaki ; dari ketiga anaknya itu hanya 2 orang yang dapat melanjutkan keturunan Beliau, yaitu masing-masing yang dinamai Hasan dan Ahmad ; dimana keturunan mereka selain berada di Timur Tengah kebanyakan juga berada di Indonesia.
Waliyyullah Yahya bin Hasan Bin Yahya pulang ke Rahmatullah di kota Tarim tahun956 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Munawwar

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang Pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Munawwar ” adalah Waliyyullah Aqil bin Alwi bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Abdullah bin Abubakar bin Alwi bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Asseggaf.
So’al gelar yang disandangnya disebabkan kehebatan (kuatnya) Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT maka Beliau dikarunia “Nur ” yang artinya ” Cahaya“. Dan orang yang dikarunia Cahaya oleh Allah SWT disebut ” Al-Munawwar “.
Waliyyullah Aqil bin Alwi AI-Munawwar dilahirkan di kota Seiwun (Hadramaut). Dikaruniai 3 orang anak lelaki, 2 diantaranya yang bernama Abdurrahman danAbdullah yang menurunkan keturunan Beliau yang kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Aqil Al-Munawwar pulang ke Rahmatullah dikota Seiwun sekitar tahun1170 Hijrivvah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Muhdhar

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Muhdhar” adalah waliyyullah Umar bin Syaich Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Al Imam Abdurrahman Assegaf.
So’al gelar “Al-Muhdhar” yang disandang, karena ayah Beliau setelah menamainya dengan Umar maka dijuluki pula “Muhdhar” jadi “Umar AlMuhdhar“. Dengan maksud agar supaya mendapatkan keberkatan dan meniru Leluhur Besar-nya yaitu Waliyyullah Umar A!-Muhdhar bin Al-Imam Abdurrahman Assegaf.
Dimana apa yang telah dicita-citakan ayah Beliau menjadi kenyataan, waliyyullah Umar Al-Muhdhar bin Syaich Abi Bakar bin Salim akhirnya menjadi seorang waliyyullah yang berpredikat seperti leluhurnya waliyyullah Umar AI-Muhdhar bin Abdurrahman Asseggaf.
Waliyyullah Umar Al Muhdhar dilahirkan di kota Inat. Dikaruniai 2 orang anak lelaki masing-masing bernama Ali dan Abubakar, mereka yang menurunkan keturunan Al-Muhdhar.
Keturunan Al-Muhdhar selain disebut “Al-Muhdhar” biasa disebut pula dengan “Al-Mahadir“.
Selain golongan “Al-Muhdhar” dari anak cucu Umar Al-Muhdhar, ada pula golongan Alawiyyin yang dijuluki “Al-Bin Muhdhar“, tetapi mereka dari keturunan anak cucu leluhur “Al-Habsyi
Waliyyullah Umar Al-Muhdhar pulang ke Rahmatullah di kota Inat pada tahun 997Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Bcliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya clan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Masyhur

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Masyhur” adalah waliyyullah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Syahabbuddin Al-Ashghor.
So’al gelar “Al-Masyhur” yang disandangnya, belum ada kepastiannya. Sebagaimana diketahui menurut bahasa Arab “Masyhur” berarti “Tersohor” atau “terkenal”. Maka terkenal / tersohor dibidang apakah gerangan Waliyyullah Muhammad b. Ahmad AI-Masyhur tersebut, Wallahu A’lamu Bissawab
Waliyyullah Muhammad bin Ahmad Al-Masyhur dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 3 orang lelaki yang melanjutkan keturunan Beliau, masing-masing bernama :
1.               Abdurrahman, keturunannya hanya berada di Malibar.
2.               Alwi, leluhur Al-Masyhur yang keturunannya ada di Indonesia berada di kota Surabaya.
3.               Abdullah, dikaruniai 4 orang lelaki, 2 diantaranya yang berketurunan, masing-masing bernama :
1.                        Umar, leluhur Al-Masyhur yang ada di Tarim (Hadramaut) salah satu anak cucunya yaitu AI-Allamah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur ; penulis kitab “Syamsuddahirah“. Kitab tentang susunan Silsilah Nasab Alawiyyin, yang merupakan salah satu pedoman bagi Kantor Pusat Pencatatan Nasab Arrabithah Alawiyyin di Indonesia, yang sekaligus merupakan Nara Sumber yang terpenting dalam penyusunan Monogram Silsilah Nasab Alawiyyin beserta Buku Petunjuknya. Umar bin Abdullah bin Muhammad Al-Masyhur keturunannya selain berada di Hadramaut, berada pula di Malaysia dan di Indonesia (Jawa).
2.                        Ahmad, satu-satunya anak lelakinya bernama Muhammad Al Zahir, Lehuhur qabilah “Al-Zahir
Waliyyullah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin Al-Ash’ghor pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1130 H.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para ’syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Chamur

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali mendapat julukan “Al-Chamur” adalah Waliyyullah Abdullah bin Shaleh bin Hasan bin Husein bin Syaich Abu Bakar bin Salim.
Soal gelar yang disandangnya karena beliau bermukim di “Chamur” yaitu suatu tempat yang tersohor disebelah barat kota Syibam Hadramaut.
Waliyyullah Abdullah bin Shaleh Al-Chamur dilahirkan di “Chamur”. Dikaruniai7 orang anak lelaki, masing-masing bernama: Ahmad ; Ali ; Abu Bakar ; Umar ;Abdurrahman ; Muhammad dan Idrus. Yang semuanya menurunkan keturunannya.
Waliyyullah Abdullah bin Shaleh Al Chamur pulang ke Rahmatullah di Chamurpada sekitar tahun 1211 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan beliau dalam surga menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, dan para Sholihin. Amin.

Marga Al-Cherrid

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
ang pertama kali dijuluki (digelari) “Cherrid” ialah Waliyyullah Alwi bin Muhammad Hamidan bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbad.
Soal julukan (gelar) yang disandangnya karena beliau berkali-kali beribadah di suatu Goa yang disebut “Goa-Cherrid” dipegunungan “Aqrun” di Tarim. Beliau selalu beribadah disana sampai seminggu bahkan sampai sebulan lamanya.
Didalam “Goa-Cherrid” yang sepi dan jauh dari keramaian duniawi tersebut beliau disamping melakukan ibadah jasmani (seperti melaksanakan shalat) juga melakuan ibadah tafakur dengan kalbu dan fikirannya, yang kesemuanya itu dilakukan karena mencontoh sunnah Rasulullah s.a.w yang pernah melakukan ibadah di “Goa-Hira”.
Waliyyullah Alwi Cherrid dilahirkan di kota Tarim dan dikaruniai 6 orang anak lelaki. Diantara ke-6 anak lelakinya tersebut hanya seorang anaknya yang bernama Ali yang kemudian menurunkan keturunan “Al-Cherid”.
Waliyyullah Alwi Cherrid pulang ke Rahmatullah di Tarim pada tahun 808Hijriyyah
Semoga Allah SWT memasukkan beliau dalam surga menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, dan para Sholihin. Amin.

Marga Al-Chaneman

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Chaneman” adalah Waliyullah Ahmad bin Umar bin Muhammad bin Ahmad in Abubakar Al-Wara’ bin Ahmad bin Muhammad Al-Faqih Muqaddam.
Soal gelar “Al-Chaneman” yang berasal dari kata “Chanam” yang berarti salah satu jenis kurma yang hanya berada di Hadramaut. Belum diketahui dengan pasti apakah hubungannya ‘Chanam” (kurma) tersebut dengan gelar yang disandang beliau itu. Apakah karena beliau menyukai kurma tersebut atau beliau memiliki perkebunan kurma tersebut. Wallahu a’lam.
Waliyullah Ahmad Chaneman dilahirkan di kota Tarim (Hadramaut). Dikaruniai2 orang anak lelaki yang masing-masing bernama :
1.               Umar, yang keturunannya hanya berada di timur Tengah dan jumlah sedikit sekali.
2.               Abdullah, yang keturunannya kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyullah Ahmad bin Umar Chaneman meninggal di kota Tarim pada tahun893 Hijriyah.
Semoga Allah SWT memasukkan beliau-beliau dalam surga menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, dan para Sholihin. Amin.

Marga Al-Hiyyid

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Hiyyid” adalah waliyyullah Abdullah bin Abubakar bin Hasan bin Husein bin Al-Syeich Abi Bakar bin Salim.
So’al gelar yang disandangnya, belum ada fatwa kepastiannya. Ada dugaan karena ada kemungkinan Beliau selalu mengikuti jejak yang sering diamalkan oleh Leluhurnya yaitu sering ketempat yang sunyi. Semacam Gua dilereng sebuah Gunung di pinggiran kota Inat Hadramaut sebagai tempat bercholwah (untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT).
Waliyyullah Abdullah bin Abubakar AI-Hiyyid dilahirkan di Inat, dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Abubakar, yang meneruskan keturunan “Al-Hiyyid” terutama yang kebanyakan di Indonesia.
Waliyyullah Abdullah Al-Hiyyid pulang ke Rahmatullah di kota Inat sekitar tahun1169 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Hinduan

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Hinduan ” adalah Waliyyullah Umar bin Ahmad bin Hasan bin Ali bin Muhammad Mauladdawilah.
So’al gelar yang disandangnya, karena Badan dan Iman Beliau sungguh sangat kuat sekali bagaikan pedang yang tajam terbuat dari besi baja berasal dari India. Pedang yang terbuat dari besi baja buatan India itu dalam bahasa Arab disebut “Hinduan”
Waliyyullah Umar Al-Hinduan dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai seorang anak lelaki yang dinamai Abdullah ; yang melanjutkan keturunannya terutama yang kebanyakan yang berada di Indonesia.
Waliyyullah Umar Al-Hinduan pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun917 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !

Marga Al-Djamalullail (Al-Jamalullail)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Djamalullail” adalah waliyyullah Al-Imam Al-Fadlil Muhammad bin Hasan AIMu’allim bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi
So’al gelar yang disandangnya, karena Beliau selalu beribadah semalam suntuk hingga waktu fajar. Malam harinya diperindah dengan ibadah shalat tahajjud dan shalat-shalat sunnah lainnya, serta pengajian ayat-ayat suci Al-Qur’Anul Karim, shalawat-shalawat Rasullulah s.a.w dan membaca do’a-do’a lain-tainnya, hal ini dilakukan sepanjang hayatnya.
Karena itu Beliau digelari “Djamalullail” yang berarti Beliau adalah orang yang selalu memperindah malam hari dengan banyak melakukan ibadah.
Waliyyullah Muhammad Djamalullail dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 2 orang anak lelaki masing-masing adalah :
·                  Abdullah bin Muhammad Jamalullail, yang dari kedua cucunya masing-masing Abdullah bin Ahmad dan Muhammad bin Ahmad menurunkan “Al-Djamalullail” yang kebanyakan berada di Hadramaut, di Makkah Al-Mukarramah dan di India, dan sebagian kecil berada di Aceh dan di pulau Jawa.
·                  Ali bin Muhammad Djamalullail dari anak cucunya menurunkan Keturunan Leluhur Al-Qadriy; Al-Assry; Al-Baharun; Al-Djunaid.
Waliyyullah Muhammad Djamalullail pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 845 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin..!

Sayyid Ahmad Siddiq Al-Ghumari

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Beliau ialah al Hafiz al ‘Allamah al Imam al Mujtahid al Muhaqqiq al Mudaqqiq Abul Faidh Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Siddiq bin Ahmad bin Muhammad bin al-Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Mukmin bin Ali bin al Hasan bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdullah bin Isa bin Sa’id bin Mas’ud bin al Fudhoil bin Ali bin Umar bin al ‘Arabi bin ‘Allal (Ali menurut bahasa Maghribi) bin Musa bin Ahmad bin Daud bin Maulana Idris al Asghor bin Maulana Idris al Akbar bin Abdullah al Kamil bin al Hasan al Muthanna bin Imam al Hasan al Mujtaba bin Amirul Mukminin Sayyiduna Ali dan Sayyidah Fatimah al Zahra’ binti Sayyiduna Muhammad Rasulullah s.a.w. Sayyid Ahmad al Ghumari menyebut susur galur keturunan ini dalam kitab yang berjudul al Tasawwur wat Tasdiq bi Akhbar Syeikh Sayyid Muhammad al Siddiq dengan berkata: Adapun juraian keturunan ini, ia merupakan perkara sabit yang dibuktikan melalui jalan kesaksian, kemasyhuran dan mutawatir di kalangan orang ramai sepertimana yang termaktub di dalam sijil-sijil pernikahan, jual beli dan pemberian yang dilaburkan buat kawasan pemakaman nenek moyang kami serta sumber-sumber lain yang menyebut tentang perkara ini dari kurun kesepuluh Hijrah sehingga sekarang.
Kelahiran
Dilahirkan di desa Bani Sa’ad, wilayah Ghumarah, utara Maghrib Aqso, Morocco pada hari Jumaat, 27 Ramadhan 1320 Hijrah (1902). Selepas 2 hari kelahiran beliau, ayahandanya membawa beliau pulang ke wilayah Tonjah (Tangiers).
Latar belakang keluarga
Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan anak sulung daripada 7 orang adik beradik. Bukan sekadar sulung daripada sudut susunan keluarga, bahkan sulung daripada sudut keilmuan sehinggakan adik-adiknya berguru dengan beliau. Bahkan adik-adik beliau akan membentangkan setiap karya mereka kepadanya untuk disemak, diedit dan dikomentar. Ayahanda beliau, Sayyid Muhammad Siddiq al Ghumari merupakan tokoh ulama’ yang hebat sehingga menjadi rujukan para ulama’ dari seluruh Morocco. Beliau juga merupakan pengasas Madrasah Siddiqiyyah yang menjadi gedung penyumbang para ulama’ di dunia umumnya dan Morocco khasnya. Datuk beliau sebelah ibu, Sayyid Ibnu ‘Ajibah al Hasani merupakan seorang ulama’ yang tidak asing lagi. Beliau merupakan penulis kitab tafsir al-Quran yang berjudul Bahrul Madid fi Tafsir al-Quran al Majid dan kitab tasawwuf yang berjudul Iqozul Himam yang merupakan huraian terhadap kitab Hikam Ibnu ‘Atoillah karangan Imam al ‘Allamah al Faqih Sayyid Ahmad bin ‘Atoillah al Sakandari. Adik-adik beliau, Sayyid Abdullah, Sayyid Abdul Aziz, Sayyid Abdul Hayy, Sayyid al Hasan, Sayyid Ibrahim dan Sayyid Muhammad Zamzami merupakan tokoh-tokoh muhaqqiqin. Di kalangan mereka ada yang mencapai martabat al Hafiz dalam bidang hadith. Begitu juga di kalangan mereka terdapat pakar-pakar yang menjadi rujukan dalam bidang Tafsir, Fiqh, Usul Fiqh, Bahasa Arab, Tasawwuf dan bidang ilmu yang lain. Namun keluarga al Ghumari merupakan keluarga ulama’ yang menonjol dalam bidang Hadith serta keluarga yang melahirkan tokoh-tokoh ulama’ yang mencapai taraf Mujtahid.
Latar belakang pendidikan
Sayyid Ahmad al Ghumari memulakan pendidikan seawal usia lima tahun. Ayahandanya memasukkan beliau ke pondok dengan tujuan untuk menghafal al-Quran. Di samping itu, beliau turut menghafal beberapa matan ilmu seperti Muqaddimah al-Ajurumiyyah dan lain-lain lagi. Setelah itu, beliau mula menumpukan perhatian terhadap subjek-subjek yang lain seperti Nahu, Sorf, Fiqh Maliki, Tauhid dan Hadith. Ayahandanya begitu mengambil berat tentang pendidikan beliau di mana ayahandanya memberi galakan supaya beliau bersungguh-sungguh dan berpenat lelah dalam menuntut ilmu. Ketika mana ayahandanya memerintahkan para pelajar Madrasah Siddiqiyyah supaya menghafal al-Quran, lantas beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul Riyadh al Tanzih fi Fadhoil al Quran wa Hamilih untuk menjelaskan tentang kelebihan-kelebihan al Quran dan golongan yang menghafalnya. Perkara ini beliau lakukan ketika masih lagi berusia belasan tahun. Dalam tempoh ini juga, beliau cenderung untuk mempelajari ilmu Hadith dan bergelumang dengan perkara-perkara yang berkaitan dengannya lantas beliau mula membaca dan mengkaji kitab-kitab Hadith khususnya kitab al Targhib wa al Tarhib dan kitab al Jami’ al Soghir berserta huraiannya yang berjudul al Taisir. Ketika berusia 20 tahun, dengan perintah ayahandanya beliau pun merantau ke Mesir untuk melanjutkan pengajian di al Azhar al Syarif. Di Mesir, beliau menumpukan sepenuh perhatian untuk mempelajari Fiqh Maliki dan Syafie. Antara subjek-subjek yang beliau pelajari: 1) Nahu: Matan al Ajurumiyyah berserta huraiannya yang bertajuk Syarah al Kafrowi. Beliau turut mempelajari matan Alfiyyah Ibnu Malik berserta huraiannya yang berjudul Syarah Ibnu ‘Aqil dan Syarah al Asymuni. 2) Tauhid: Kitab Jauharah al Tauhid. 3) Fiqh: Kitab al Tahrir karangan Syeikhul Islam Zakaria al Ansori dalam Fiqh Syafie dan kitab Syarah al Hidayah dalam Fiqh Hanafi. 4) Hadith: Sohih al Bukhari, al Adab al Mufrad, Musnad al Imam al Syafie, Musalsal Awwaliyyah dan Musalsal Yaum ‘Asyura. 5) Usul Fiqh: Kitab Minhaj al Usul ila ‘Ilmi al Usul berserta huraiannya yang berjudul Nihayah al Sul. Dan beberapa subjek lagi yang merangkumi pelbagai bidang ilmu sama ada ilmu-ilmu berbentuk naqliyyah mahu pun ‘aqliyyah. Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan seorang pelajar yang pintar dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu sehingga kepintaran dan kesungguhan beliau menimbulkan kekaguman para gurunya. Ini kerana beliau berjaya menghabiskan subjek-subjek tersebut dalam masa yang singkat.
Guru-guru beliau
Sayyid Ahmad al Ghumari memiliki guru yang ramai dari beberapa buah negara Islam seperti Mesir, Halab, Damsyik dan Sudan. Beliau menyebut nama-nama mereka secara khusus di dalam kitab yang berjudul al Bahsul ‘Amiiq fi Marwiyyat Ibni al Siddiq. Di antaranya ialah:
1) Ayahanda beliau sendiri al Imam al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Siddiq al Ghumari al Idrisi al Hasani.
2) Syeikh al â
€˜Arabi bin Ahmad Bu Durrah, murid ayahandanya.
3) Al â
€˜Allamah al Muhaddith Sayyid Muhammad bin Ja’afar al Kittani.
4) Al â
€˜Allamah Syeikh Muhammad Imam bin Ibrahim al Saqa al Syafie.
5) Al â
€˜Allamah al Faqih al Usuli al Mufassir Syeikh Muhammad Bakhit al Muti’e, mufti Kerajaan Mesir.
6) Al â
€˜Allamah Muhaddith al Haramain Syeikh Umar Hamdan al Mahrasi dan lain-lain lagi.
Bergelumang dengan ilmu Hadith
Setelah menamatkan pengajian, beliau mula menumpukan sepenuh perhatian untuk mengkaji bidang Hadith secara riwayat dan dirayah. Lantas beliau mengurung dirinya di rumah dengan tujuan untuk mengkaji hadith dengan lebih mendalam dan teliti. Beliau tidak keluar dari rumahnya melainkan untuk menunaikan sembahyang lima waktu dan tidak tidur pada waktu malam kecuali seketika selepas menunaikan sembahyang sunat Dhuha. Beliau berterusan dalam keadaan sebegini sehingga 2 tahun lamanya. Dalam tempoh ini, beliau menghafal hadith, mengkaji dan mentakhrijnya. Apabila tamat tempoh ini, beliau merantau pula ke Damsyik bersama-sama ayahandanya dan terus pulang ke Morocco. Beliau menetap selama lebih kurang empat tahun di Morocco. Dalam tempoh ini, beliau meneruskan kesungguhan dalam mengkaji ilmu Hadith di samping menghafal, mentakhrij, menulis dan mengajar. Dalam tempoh ini juga, beliau mula mengajar kitab Nailul Autor dan al Syamail al Muhammadiyyah yang mana kedua-duanya merupakan kitab hadith. Setelah itu, beliau kembali merantau ke Mesir bersama dua orang adiknya Sayyid Abdullah dan Sayyid Muhammad Zamzami. Di Mesir, beliau menjadi tempat rujukan para ulama’ walaupun beliau masih lagi berusia muda. Di samping menulis, beliau diminta untuk membacakan kitab Fathul Bari dan Muqaddimah Ibnu Solah. Beliau turut mengadakan majlis imla’ yang bertempat di Masjid Imam Husain dan Masjid al Kokhya. Pada tahun 1354 (1936), beliau pulang ke Morocco disebabkan kewafatan ayahandanya. Lantas beliau mengambil alih tempat ayahandanya bagi meneruskan kelangsungan Madrasah Siddiqiyyah. Maka beliau mula mengajar kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu Hadith dan mengadakan majlis-majlis imla’. Sayyid Ahmad al Ghumari sering menyeru orang ramai agar kembali berpegang dengan Sunnah Nabawiyyah dan beliau menentang dengan keras sebarang peniruan dan penyeruan serta ikutan terhadap golongan kafir lebih-lebih lagi Morocco ketika itu telah mula dimasuki pengaruh Eropah yang membawa unsur-unsur yang negatif.
Seorang mujahid
Sayyid Ahmad al Ghumari bukan saja terkenal sebagai seorang ilmuwan dan tokoh dalam bidang hadith bahkan beliau adalah seorang tokoh mujahid yang berjuang bermati-matian menentang penjajah dan penjajahan. Lantas kerana itu, beliau telah dipenjara selama beberapa tahun. Setelah dibebaskan dari penjara, beliau berterusan dikenakan tekanan oleh pihak penjajah sehingga akhirnya beliau memutuskan untuk merantau meninggalkan Morocco dan memilih untuk menetap di Mesir sehingga ke akhir hayat.
Karya-karya
Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan seorang ulama’ yang banyak menulis sehingga diberi gelaran sebagai ‘al Suyuti pada zamannya’. Karangan beliau mencecah sebanyak 169 buah. Beliau menulis dalam pelbagai bidang ilmu seperti ‘Aqidah, Fiqh, Tafsir, Hadith, Tasawwuf, Sejarah, Biografi dan sebagainya. Karya-karya beliau ada yang telah dicetak dan ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Antara karya-karya beliau:
1) Ibraz al Wahm al Maknun min Kalam Ibni Khaldun.
2) Ithaf al Adib bima fi Taâ
€™liq ‘Ilam al Arib.
3) Ithaf al Huffaz al Maharah bi Asanid al Usul al â
€˜Asyarah.
4) Al Ajwibah al Sorifah â
€˜an Isykal Hadith al Toifah.
5) Ihyaâ
€™ al Maqbur bi Adillah Bina’ al Masajid wal Qubab ‘ala al Qubur.
6) Azhaar al Raudhatain fiman yuâ
€™ta Ajrahu Marratain.
7) Al Azhar al Mutakathifah fil Alfaz al Mutaradifah.
8)Al Istiâ
€™azah wal Hasbalah mimman Sohhaha Hadith al Basmalah.
9) Al Istiâ
€™adhoh bi Hadith Wudhu’ al Mustahadhah.
10) Al Istinfar li Ghazwi al Tasyabbuh bil Kuffar.
11) Al Asrar al â
€˜Ajibah fi Syarh Azkar Ibn ‘Ajibah.
12) Al Ifdhol wal Minnah bi Ruâ
€™yah al Nisa’ Lillah fil Jannah.
13) Iqomah al Dalil â
€˜ala Hurmah al Tamsil.
14) Al Iqlid bi Tanzil Kitabillah â
€˜ala Ahli al Taqlid.
15) Al Iqnaâ
€™ bi Sihhah al Solah Khalfa al Mizya’ dan lain-lain lagi.
Karya-karya Sayyid Ahmad al Ghumari merupakan himpunan karya yang bermutu tinggi. Di dalamnya terhimpun dalil-dalil, hujah-hujah, fakta-fakta serta keterangan-keterangan yang membuktikan keluasan ilmu beliau di dalam pelbagai lapangan ilmu ditambah dengan beberapa pandangan yang dilontarkan hasil ijtihad beliau sendiri. Ini merupakan suatu perkara yang tidak mustahil kerana beliau sendiri telah mencapai taraf mujtahid. Dikatakan beliau mula berijtihad setelah berjaya membaca 7 buah kitab dalam pelbagai mazhab yang mana kitab-kitab tersebut ada yang mencecah berjilid-jilid banyaknya. Ini merupakan suatu perkara yang mengkagumkan!
Kewafatan
Setelah pulang dari Sudan, beliau ditimpa sakit teruk yang berterusan. Akhirnya pada hari Ahad, awal bulan Jamadil Akhir 1380 (1962) beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 60 tahun. Jenazah beliau disemadikan di Kaherah, Mesir. Semoga Allah merahmati Sayyid Ahmad al Ghumari serta membalas jasa-jasa beliau dalam mempertahankan Sunnah Nabawiyyah dengan sebaik-baik pembalasan. Amin.

AL-IMAM MUHAMMAD BIN ALI SHAHIB AL-HAUTHOH ( MUHAMMAD MAULA AIDID )

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali mendapat gelar Aidid  ialah waliyyullah Â Muhammad Â bin Ali Shahib Al-Hauthoh bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi Qasam…………Rasulullah Muhammad SAW.  
            Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah SAW. 
Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.                                                                     
            Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh  sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar   Muhammad  Maula Aidid  . Maula  berarti  Penguasa. 
            Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk. 
            Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir  dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “. 
            Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 Hijriyyah, istrinya bernama Syarifah binti Hasan bin Alfaqih Ahmad seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman,  Abdullah,  Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad. Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.
            Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar  Bafaqih  yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Â Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “. 
Al-Imam Muhammad Maula Aidid mempunyai enam 6 orang, yaitu : 
1. Ahmad Al-Akbar, keturunannya terputus, beliau sangat mencintai ilmu pengetahuan, mendalami ilmu pengobatan dan ilmu analisis. Lahir dan wafat di Tarim. Wafat tahun 862 H. bersamaan tahun wafat dengan ayahnya.
2. Abdurrahman Bafaqih, mempunyai 5 orang anak lelaki, 3 diantaranya meneruskan keturunannya, yaitu :

·                  Ahmad

·                  Zein
·                  Atthayib
Abdurrahman Bafaqih wafat di Tarim tahun 884 H.
3. Abdullah Al-A’yan An-Nassakh Bafaqih mempunyai tiga orang anak lelaki :
·                  Alwi (tidak punya keturunan)
·                  Husein (keturunan di Qamar), mempunyai seorang anak yang bernama Sulaiman yang lahir di Tarim dan wafat di Al-Mahoo tahun 1009 H. Sulaiman ini mempunyai anak Husin, Husin mempunyai anak Abubakar. Al-Habib Abubakar ini menjadi Sultan di kepulauan Komoro di Afrika Utara.
·                  Ahmad, mempunyai dua orang anak lelak
    a. Sulaiman
   Â b. Ali, mempunyai dua orang anak lelaki :
     - Abdurrahman
     - Muhammad, lahir di Tarim Kemudian Hijrah dan menetap di Kenur (India), kemudian pindah ke Heiderabat (India) 
       dan wafat disana. Al-Habib Muhammad  mempunyai 7 orang anak :
     - Ahmad (tidak diketahui)
     - Umar, wafat di India.
     - Abdullah, wafat di Khuraibah.
     - Husin Lahir dan wafat di tarim tahun 1040 H.
     - Abubakar lahir di Tarim dan wafat di Qoidon tahun 1053 H.
     - Ali wafat di Khuraibah.
Abdullah Bafaqih wafat selang beberapa tahun wafatnya Abdurrahman Bafaqih dalam perjalanan dari kota Makah Al-Mukarramah ke kota Madinah Al-Munawwarah yang dimakamkan disekitar antara kedua kota suci tersebut.
4. Ali Aidid wafat tahun 919 H, mempunyai tiga orang anak lelaki :
·                  Muhammad Al-Mahjub, wafat tahun 973 H.
·                  Abdullah.
·                  Abdurrahman wafat tahun 976 H. 
5. Alwi  Bafaqih, keturunannya terputus pada generasi ke 7 tahun 1123  H.      
6. Alfaqih Ahmad (tidak punya keturunan) 
       Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :
1.    Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam
2.    Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj
3.    Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.
4.    Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail
5.    Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib
6.    Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf
7.    Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror) 
Murid-muridnya : 
1.    Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran
2.    Ali bin Abubakar Assakran
3.    Muhammad bin Ahmad Bafadhaj
4.    Muhammad bin Ahmad Bajarash
5.    Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra
6.    Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)
7.    Anak-anaknya. 
Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib : 
            Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad  bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab  tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”.  Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama. 
Dalam  Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan   
            Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an  disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya  lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi. 
Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206 
            Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali. 
Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat  di kota Tarim pada tahun 862 Hijriyyah. Dimakamkan di Pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar  Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.
Diantara silsilah yang melalui Al-Imam Abdurrahman bin  Alwi (Ammil Faqih) antara lain  :
 1. Bin Semith                     5.Al-Qoroh          9.Al-Hudaili
2. Baabud Magfun             6.Aidid                 10.Basuroh
3. Ba Hasyim                     7.Al-Haddad        11.Bafaqih
4. Al-Baiti                           8.Bafaraj              12.BinThahir 
Penyusun : Alwi Husein Aidid.
Sumber dari : Habib Idrus Alwi Almasyhur, Habib Alwi Almasyhur dan Habib Zein Alwi bin Taufik Aidid.

Ibnu Atha’illah

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoâ
€™illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyiâ
€™. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Karya
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.
Wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Marga Al-Nadzir

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Nadzir ” adalah Waliyyullah Muhammad bin Abdullah bin Umar Ahmaril’Uyun bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih.
So’al gelar yang disandangnya karena Beliau adalah seorang yang bagus dan gagah perkasa ; yang dalam bahasa Arab disebut dengan ” Al-Nadzir “.
Waliyyullah Muhammad Al-Nadzir dilahirkan di kota Micha’ (Hadramaut). Dikaruniai 5 orang anak lelaki, masing-masing bernama: Ali, Barakat ; Abubakar, Ahmad dan Umar ; yang kelima-limanya menurunkan keturunan Beliau yang hanya berada Sawahil (Hadramaut) , di Tanzania (Afrika) dan di Surat (India).Seorangpun tidak ada di Indonesia.
Waliyyullah Muhammad AI-Nadzir pulang ke Rahmatullah di kota Micha’ pada tahun 980 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Zahir

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Zahir” adalah waliyyullah Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad AI-Masyhur bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin Al-Ash’ghor.
So’al gelar “Al-Zahir” yang disandangnya, belum ada kepastiannya. Tetapi menurut bahasa Arab “Al-Zahir” berarti wajah yang sangat indah sekali bagaikan keindahan bunga-bunga, serta wajah yang gagah dan bercahaya, mungkin wajah waliyyullah Muhammad Al-Zahir sifat-sifat tersebut diatas.
Waliyyullah Muhammad bin Ahmad Al-Zahir dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 2orang anak lelaki. Satu diantaranya yang bernama Abdullah, yang menurunkan keturunannya seluruh Al-Zahir terutama Yang kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Al-Zahir pulang ke Rahmatullah di Tarim tahun 1208 H.
Semoga Allah SWT memasukkan Beiiau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Bin-Sahil

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) dengan “ Bin Sahil ” adalah Waliyyullah Sahil bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Jamallulail bin Nasan bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi.
Waliyyullah Sahil bin Ahmad dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 3 orang anak lelaki, 2 diantaranya yang menurunkan keturunannya masing-masing adalah Alwidan Ahmad.
Waliyyullah Sahil bin Ahmad bin Sahil pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun Â± 973 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Shateri (Asy-Syateri/AshShateri)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Asysyatri” adalah Waliyyullah Alwi bin Ali bin Ahmad Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi.
So’al gelar yang disandangnya, karena Beliau selalu membagi dua semua harta benda, yang setengah bagian diberikan untuk saudara kandungnya yaituWaliyyullah Abubakar bin Ali AI-Habsyi dan sisanya untuk dirinya sendiri. Hal tersebut dilakukan mungkin karena sangat sayangnya pada saudaranya (sebagai toleransi persaudaraan). Seperti diketahui dalam bahasa Arab “Asysyatri” berasal dari kata Syathara, artinya membagi dua.
Waliyyullah Alwi Asysyatri dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 5 orang anak lelaki, 2 diantaranya yang menurunkan keturunannya yaitu : Muhammad danUmar.
Waliyyullah Alwi Asysyatri pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 843Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin..!.

Marga Al-Bin-Shahab (Syahab)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Bin Syahab” adalah Waliyyullah Syihabuddin bin Abdurrahman bin Ali bin Abibakar Assakran bin Abdurrahman Asseggaf .
Beliau lebih tersohor dengan gelar “Ahmad Syahabuddin Al- Akbar “.
So’al gelar yang disandangnya belum ada fatwa kepastiannya ; hanya ada dugaan kemungkinan karena hal berikut : Bahwa akhir zaman kerajaan Abbasiyyah dan permulaan zaman kerajaan Utsmaniyyah ; sedang musim-musimnya istilah penambahan didepah nama seseorang dengan sesuatu gelar sebagai cara untuk pemujian (pemujaan) yang sangat berlebih-lebihan, gelar yang dimaksud misalnya seseorang.yarig bernama :
Muhammad - digelari Syamsuddin; Abdullah - digelari Afifuddin;
Ahmad - digelari Syahabuddin; AbdulQadir- digelari Muhyiddin;
Ali - digelari Nuruddin; Abdurrahman - digelari Wajihuddin dan lain sebagainya.
Maka kemungkinan karena Ahmad Al-Akbar bin Abdurrahman bin Ali bin Abibakar Assakran adalah seorang Waliyyullah yang sangat tersohor pada zaman itu maka Beliau digelari “Ahmad Syahabuddin Al-Akbar“. Begitu pula terhadap gelar yang disandang oleh cucu Beliau yang kebetulan pula bernama Waliyyullah Ahmad digelari juga dengan “Ahmad AI-Syahabuddin AI-Ash’ghor”, yang merupakan Leluhur seluruh Al-Bin Syahab terutama yang kebanyakan berada di Indonesia ; kecuali golongan Al-Bin Syahab Al-Hadi , seperti yang akan dijelaskan dibawah ini. Wallahu A’lamu Bissawab..!
Waliyyullah Syahabuddin Al-Akbar dilahirkan di kota Tarim (Hadramaut). Dikaruniai 3 orang anak lelaki yang melanjutkan keturunannya, masing-masing adalah :
1.               Muhammad AI-Hadi , menuniokad kdurmun Al-Bin Syahab Al-Hadi Kedua cucunya ; yang bemama :
1.                        Ali bin Idrus bin Muhammad Al-Hadi, keturunannya hanya berada di Palembang, Jakarta dan di Pekalongan.
2.                        Syihabuddin bin Idrus bin Muhammad Al-Hadi , keturunannya hanya berada di Malaysia dan di Singapura.
2.               Umar , diantara - keturunannya disebut Al-Syahab AI-Mahjub. (di Indonesia berada di Palembang )
3.               Abdurrahman Al-Qadi bin Syahabuddin AI-Akbar , dikarunia 2 orang anak lelaki,masing-masing bernama :
1.                        Muhammad Hadi bin Abdurrahman Al-Qadi, keturunannya disebut “Al-Hadi”.
2.                        Syahabuddin bin Abdurrahman Al-Qadi , yang lebih tershohor dengan nama Ahmad Syahabuddin Al-Ash’ghor, anak cucurrya menurunkan keturunan Al-Bin Syahab yang terbanyak sekali di Indonesia ; diantaranya yang disebut dengan Al-Bin Syahab : Al-Bin Husein; Al-Bin Idrus; Al-Bin Zain.
Waliyyullah Ahmad Syahabuddin Al-Ash’ghor (yang pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1036) selain anak-cucunya mcnurunkan Leluhur Al-Bin Syahab seperti termaktub diatas, Juga menurunkan keturunan Leluhur “Al-Masyhur ” dan Leluhur ” Al-Zahir “.
Waliyyullah Ahmad Syahabuddin Al-Akbar pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 946 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Basymeleh

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Basymeleh” adalah waliyyullah Abi Bakar bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaff bin Muhammad Mauladawilah.
Soal gelar yang disandangnya, karena sewaktu Beliau hendak menunaikan lbadah Haji, Beliau karena suatu hal maka agak terlambat ke pelabuhan hingga kapal yang akan memberangkatkan jama’ah sudah berangkat. Dengan penyesalan yang luar biasa, atas pertolongan (kekeramatannya) dari Allah SWT, maka Beliau menggelar “Syamilahnya” yaitu kain yang biasa disebut “Radi” atau “Surban” di permukaan laut, kemudian Beliau duduk di atasnya dimana dengan izin Allah SWT Syamilah/Surban tersebut segera meluncur dengan cepat sampai ke tanah suci dan Beliau dapat ibadah haji. Kejadian tersebut disaksikan oleh banyak masyarakat, karenanya Beliau digelari dengan “Basymeleh“.
Waliyyullah Abi Bakar Basymeleh dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai dua orang anak masing-masingm : Ahmad, Abdullah , tetapi keturunan-keturunannya hanya berada di Habasyah (Afrika).
Beliau pulang ke Rahmatullah di Tarim pada tahun 843 H.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Musyayyach (Al-Musyayyakh)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali digelari (dijuluki) “Al-Musyayyach” adalah waliyyullah Al-Musyayyach bin Abdullah bin Al-Syaich Ali bin Abi Bakar Assakran.
Waliyyullah Al-Musyayyach dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 2 orang anak lelaki masing-masing bernama Abdullah yang keturunannya berada di India danAbdurrahman yang keturunannya, kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Al-Musyayyach pulang ke Rahmatullah di kota Tarim , pada tahun 915Hijriyyah.
Semoga Allah’ SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi; para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Mahjub

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang dijuluki (digelari) “Al-Mahjub” ada dua Waliyullah, masing-masing ialah :
1.               Waliyullah Abdullah bin Abdurrahman bin Hasan bin Syaich bin Ali bin Syaich bin Ali bin Muhammad Mauladdawilah . Waliyyullah Abdullah Al-Mahjub dilahirkan di Makho’ (Hadramaut). Dikaruniai 3 orang anak lelaki. Satu diantaranya yaitu yang bernama Ahmad yang menurunkan keturunan Al-Mahjub, tetapi hanya berada di Hadramaut saja
Waliyullah Abdullah bin Abdurrahman AI-Mahjub pulang ke Rahmatullah di Makho’ pada tahun 1047 Hijriyyah.
2.               Waliyullah Ali Al-Sholeh Al-Mahjub bin AbiBakar bin Sholeh bin Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Syaich bin Abdullah bin Al-Imam Abdurrahman Asseggaf. Waliyyullah Ali AI-Sholeh Al-Mahjub dilahirkan di Tarim. Dikaruniai seorang anak lelaki, yang bernama Abdullah, yang menurunkan keturunan Al-Mahjub yang berada di Indonesia terutama kebanyakan di Banjarmasin (Kalimantan).
Waliyullah Ali Al-Sholeh AI-Mahjub pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1151 Hijriyyah
So’al gelar “Al-Mahjub” menurut bahasa Arab yang berasal dari kata . “Hijab” yang berarti “Penutup” (mengasingkan diri / beruzlah) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk memohon petunjuk untuk mengatasi situasi kebobrokan zaman.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin..!.

Marga Al-Bin-Tahir (Thahir)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Bin Thahir” adalah waliyyullah Thahir bin Muhammad bin Hasyim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman bin Al-Babathinah.
So’al gelar “Al-Thahir” yang disandangnya, belum ada kepastiannya.
Ada kemungkinan bahwa ayah Beliau memberi nama dengan “Thahir” yang berarti “Suci” dengan do’a pengharapan semoga kelak anaknya menjadi seorang yang suci (lahir dan bathinnya) sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT agar hambaNya menjadi orang-orang yang suka bertaubat dan mensucikan diri, sesuai dengan FirmanNya dalam kitab Suci Al-Qur’an dalam surat AI-Baqarah ayat 222:
“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang suka bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri â€œ .
Do’a pengharapan ayah beliau dikabulkan oleh Allah SWT, karena terbukti sewaktu Al Habib Thahir bin Muhammad Bin Thahir pada saat dilahirkan sudah dalam keadaan tali pusarnya terpotong dan sudah dalam keadaan dikhitan (di Sunat). Dan sewaktu dewasa menjadi seorang waliyullah yang selalu suka bertaubat dan selalu suka mensucikan dirinya baik lahir maupun bathinnya.
Waliyullah Thahir bin Muhammad dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 5 orang anak lelaki, hanya seorang anak lelakinya yang bernama Husein yang banyak sekali menurunkan keturunannya, terutama yang berada di Indonesia.
Waliyyullah Thahir bin Muhammad pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1163 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama’sama Para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Syaich Abi Bakar

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Syaich Abi Bakar” adalah Waliyyullah Abi Bakar biu’Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin AI-lman Abdurrahman Assegaf.
Soal gelar yang disandangnya “Syaich” Abi Bakar Bin Salim, berdasarkan bahasr Arab arti “Syaich” ada dua pengertian :
Pertama : “Syaich” berarti “Lanjut Usiaâ
€,
Kedua : “Syaich” berarti “Maha-Guru” atau Professor.
Maka waliyyullah Syaich Abi Bakar bin Salim adalah termasuk kategori “Syaich” yang berarti seorang “Maha-Guru”. Beliau adalah seorang Maha Guru (Professor) dalam segala bidang ilmu agama. Beliau adalah seorang Sufi dan seorang waliyyullah yang bexpredikat “Al-Quthub“.
Waliyyullah Syaich Abi Bakar bin Salim dilahirkan di kota Tarim pada tahun 919Hijriyyah. Dikaruniai 9 anak lelaki, yang kesemuanya disamping menurunkan keturunan Leluhur Al-Syaich Abi Bakar menurunkan keturunan Al-Syaich AbuBakar yang dijuluki (digelari) : “AI-Hamid” (lihat Biografi Al-Hamid), “AI-Muhdar” (lihat Biografi Al-Muhdar), “Al-Haddar” (lihat Biografi Al-Haddar), “Al-Hiyyid” (lihat Biografi Al-Hiyyid), “Al-Bin Jindan” (lihat Biografi AI-Bin Djindan), “Al-Abu Futhaim” (lihat Biografi Al-Abu Futhaim), “Al-Chumur” (lihat Biografi Al-Chumur), “Al-Bin Hafidz” (lihat Biografi Al-Bin Hafidz)
Waliyyullah Syaich Abi Bakar bin Salim pulang ke Rahmatullah di kota Inat (Hadratnaut) pada akhir bulan Zulhijjah tahun 992 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT.memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Shalabiyyah

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “AL-SHALABIYYAH” adalah waliyyullah Ahmad bin Husein bin Abdullah bin Syaich bin Abdullah Al-Aydrus bin Abi Bakar Assakran.
So’al gelar “ASHALABIYYAH” yang disandangnya karena berkaitan atas I. Ibu Beliau adalah Fathimah Assolabiyyah.
Assalabiyyah berasal dari kata “As-Sholabah ” yang dalam bahasa Arab berarti “Berpendirian yang sangat kuat sekali“.
Waliyyullah Ahmad Al-Shalabiyyah dilahirkan di kota Tarim (Hadramaut) pada 970Hijriyyah. Dikaruniai 7 orang anak lelaki. Masing-masing bernama: Abubakar danAbdullah (keturunannya hanya berada di India), sedangkan Ali, Muhammad,Abdurrahman ; Syaich dan Husein (keturunannya kebanyakan di Indonesia).
Waliyyullah Ahmad Al-Shalabiyyah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1028 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT mernasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Basyeban

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Basyeban” adalah Waliyyullah Abubakar bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi.
Waliyyullah Abubakar Basyeban dilahirkan di kota Tarim dikaruniai 2 orang anak lelaki, satu diantaranya yang menunmkan keturunannya yaitu : Ahmad Basyeban.
Waliyyullah Abubakar Basyeban pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun807 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Habib Abdullah Bin Abdul Qodir Bil Faqih

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Habib Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.
Bak Pinang Dibelah Dua 
Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah.
Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi ilmunya.
Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.
Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah.
Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.
Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.
Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.
Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, sepertiRijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitabTaqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.

Empat Madzhab

Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-MuhadzdzabImam Nawawi.
Setelah ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.
Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.
Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.
Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil.
Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.
Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi(Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur.

Habib Abdul Qodir Bil Faqih

Posted February 9, 2009 * Comments(0)

Ayahanda beliau
Image Hosted by ImageShack.us
Habib Abdullah (kiri) dan ayahanda beliau habib Abdul Qodir Bil Faqih (tengah)
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, â
€Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafaâ
€™ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, â
€Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, â
€Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jamiâ
€™yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta maâ
€™any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Baâ
€™abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, â
€â€¦ Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

Marga Al-Shafi

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Shafi ” adalah Waliyyullah Syaichan bin Umar bin Syaichan bin Alwi bin Abdullah Attarasi bin Alwi Al-Chowas bin Abubakar Al-Djufri.
So’al gelar “ Al-Shafi ” ada dua versi penyebabnya :
1.               Karena ayah Beliau menamainya dengan ” Assafi ” dengan pengharapan agar supaya anak tersebut menjadi seorang yang berhati suci .(Dalam bahasa Arab disebut Safail-Galbu).
2.               Juga karena ayah Beliau menyontoh nama Leluhur mereka yang memakai nama Ashsofi. Yang termasuk orang-orang Waliyyullah. Dimana akhirnya menjadi kenyataan bahwa Syaichan Ashafi manjadi seorang Waliyyullah.
Waliyyullah Syaichan Al-Shafi dilahirkan di kota Makkah Al-Mukarramah . Dikaruniai 3 orang anak lelaki , 2 diantaranya yang melanjutkan ketutunan Beliau, yaitu yang dinamai Umar dan Abdullah.
  
Waliyyullah Syaichan Ashsofi pulang ke Rahmatullah di kota Makkah AI-Mukarramah pada tahun 1089 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !

Marga Al-Ba-Surroh

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali digelari “Al-Ba-Surroh” ialah waliyyullah Abdurrahman bin Ahmad bin Hasan At-Thawil.
So’al gelar yang disandangnya, karena beliau mempunyai sebuah Bingkisan yang besar yang sangat dijaganya dan selalu dibawanya kemanapun beliau pergi. Sehingga semua orang mengira bahwa Bingkisan tersebut berisi barang-barang yang sangat berharga sekali (seperti emas berlian). Namun setelah beliau. wafat dan Bingkisannya dibuka ternyata isinya tiada lain hanyalah Kitab-Kitab agama yang selalu dibacanya selama hidupnya.
Waliyyullah Abdurrahman Ba-Surroh dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai seorang anak lelaki, bernama Muhammad yang menurunkan keturunannya yang berada di Habasyah di Afrika, dan di Indonesia.
Waliyyullah Abdurrahman Ba-Surroh pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 888 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Asseriy (Assey)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Asseriy” adalah Waliyyullah Ali bin Umar bin Abdullah bin Harun bin Hasan bin Ali bin Hasan bin Ahmad bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi.
Waliyyullah Ali Assery dilahirkan di kota Tarim. Dikantniai 3 orang anak lelaki masing-masing : Ahmad, ‘Aqil, dan Umar.
Beliau-beliau yang menurunkan keturunan Al-Assery terutama yang kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Ali Assery pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1053Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan’ Beliau-Belisu ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Rachilah

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Rachilah” adalah waliyullah Muhammad bin Umar bin Ali bin Umar bin Ahmad bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
So’al gelar yang disandangnya, menurut bahasa Arab di Hadramaut “Al-Rachilah” berarti anak kambing yang masih kecil.
Waliyullah Muhammad bin Umar termasuk seorang faqir yang tidak punya apa-apa kecuali seekor anak kambing yang masih kecil, yang rencananya anak kambing tersebut akan dibesarkan supaya menjadi banyak. Walaupun Beliau seorang yang faqir, beliau suka menerima tamu. Sekali waktu Beliau kedatangan rombongan tamu; dan untuk menjamu tamu-tamunya itu beliau terpaksa memotong anak kambingnya itu.
Kemudian setelah beliau teringat akan rencananya semula maka beliau sangat sedih sekali. Kemudian Beliau memohon kepada Allah S.W.T agar supaya mengganti anak kambing yang dipotongnya tadi. Kemudian Allah S.W.T mengabulkan permohonannya dengan mengganti anak kambing yang dipotongnya tadi; hal mana terjadi karena kekeramatannya (kewaliannya).
Waliyullah Muhammad Al-Rachilah dikaruniai 5 orang anak lelaki. Satu diantarnya yang menurunkan keturunannya yaitu yang bernama Salim, biasa disebut denganAl-Rachilah Ba’Umar melalui anaknya yang bernama Umar.

Marga Al-Bin ‘Agil

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali digelari Bin Aqil adalah waliyullah Muhammad bin ‘Aqil bin salim dan Zain bin ‘Aqil bin Salim.Muhammad bin
‘Aqil bin salim dilahirkan di kota Inat.
Dikaruniai 3 orang anak lelaki masing-masing adalah : â€˜Aqil; Alwi dan Afif.
·                  Masing masing menurunkan keturunan Al Bin ‘Aqil.
·                  Zaid bin ‘Aqil bin Salim dilahirkan di Silik. Dikaruniai 2 orang anak lelaki, masing-masing adalah: husein dan ‘Aqil.
·                  Waliyullah Muhammad bin ‘Aqil pulang ke Rahmatullah di kota Inat pada tahun 1032 H.
·                  Waliyullah Zain bin ‘Aqil pulang ke Rahmatullah di kota Silik.

Marga Al-Ba-Faqih

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Al-Bafaqih disandang oleh 2 orang yaitu :
1.               Waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad Maula Aydid dan
2.               Waliyyullah Abdullah bin Muhammad Maula Aydid.
Soal gelar Bafaqih karena ayah para Beliau yaitu Waliyyullah Muhammad Maula Aydid dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu “Fiqih”.
·                  Waliyyullah Abdurrahman Bafaqih dilahirkan di kota Tarim dan dikaruniai 5 orang anak lelaki, 3 diantaranya mentuunkan keturunnannya yaitu;Ahmad, Zain dan Atthayib.
Waliyyullah Abdurrahman Bafaqih pulang ke Rahmatullah di kota ..? pada tahun 884 Hijriyyah , sedangkan
·                  Waliyyullah Abdullah Bafaqih dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 3 orang anak lelaki. 2 diantararnya yang melanjutkan keturunannya ; masing-masing bernama Husein dan Ahmad.
Waliyyullah Abdullah Bafaqih pulang ke Rahmatullah selang beberapa tahun setelah wafatnya saudaranya Waliyyullah Abdurrahman Bafaqih dalam perjalanan dari kota Makkah Al-Mukarramah ke kota Madinah Al-Munawwarah yang dimakamkan disekitar antara kedua kota suci tersebut.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Hamid

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali mendapat julukan (gelar) “Alhamid” adalah waliyyullah Hamid bin Syaich Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullab bin Al Imam Abdurrahman Assegaf.
So’al gelar “Al-Hamid” yang disandangnya berdasarkan bahasa Arab “Al-Hamid” yang berarti orang yang selalu suka berterima kasih (selalu mensyukuri) atas semua nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Maka. Waliyyullah Al Syaich Abi Bakar bin Salim memberi salah satu nama anaknya dengan “Al-Hamid” dengan do’a pengharapan agar anaknya tersebut menjadi orang yang selalu mensyukuri semua nikmat,yang diberikan oleh Allah SWT, baik dalam keadaan suka maupun duka kenyataannya “Al-Hamid” bin Syaich Abi Bakar menjadi seorang Waliyyullah yang bertawakkal kepada Allah dan senang menolong orang dan suka memberikan apa yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya, hal tersebut dapat terlaksana karena Beliau termasuk golongan orang-orang yang dijanjikan oleh Allah SWT seperti dalam FirmanNya : Dalam Al Qur’anul Karim surat Ibrahim ayat 7 ” Bila Kalian mensyukuri NikmatKu, maka akan Kutambah lagi NikmatKu itu pada kalian.”
Waliyyullah “Al-Hamid dilahirkan di kota Inat. Beliau dikaruniai 5 orang anak lelaki masing masing bernama :
1.               Muthahhar, yang menjadi keturunan Al-Hamid “Al-Aqil Muthahhar” dari anaknya yang bernama Aqil bin Muthahhar.
2.               Umar, yang menjadi keturunan A1Hamid “Al-Salim bin Umar”, dari anaknya yang bernama Salim bin Umar. Yang banyak menurunkan keturunan Al-Hamid terutama yang berada di Indonesia.
3.               Abdullah,
4.               Abubakar,
5.               Alwi, Masing-masing keturunannya kebanyakan berada di Hadramaut.
Waliyyullah “Al-Hamid” bin Al-Syaich AbiBakar pulang ke Rahmatullah di kota Inat pada tahun 1030 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghim.punkannya bersama sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Bin-Semith (Semait/Smith)

Posted February 9, 2009 * Comments(0)
Yang pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Bin Semith ” adalah Waliyyullah Muhammad bin Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Fagih Muqaddam.
So’al gelar yang disandangnya ; karena dimasa kecilnya sewaktu diajak ibunya bepergian maka penutup lehernya (semacam Shall) yang dalam bahasa Arab biasa disebut ” Semith ” jatuh. Dan dimana tempat jatuhnya penutup leher tersebut banyak orang-orang terutama orang-orang lelaki ; maka ibunya segan untuk mengambilnya, lalu buru-buru langsung pergi. Sedangkan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut mengira bahwa sang ibu tidak tahu kalau pakaian anaknya tadi jatuh, sehingga mereka meneriakkan Semith ! Semith ! berkali-kali. Sesampainya dirumah kejadian tadi diceritakan pada keluarganya yang lain. Maka sejak itu anak kecil yang mungil yang bernama Muhammad tadi dering dijuluki ”Semith 
Waliyyullah Muhammad Bin Semith dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai seorang anak lelaki yang dinamai Abdullah, yang menurunkan keturunannya di kota Tarim ; Syibam ; Taribah ; Goroh ( semuanya di Hadramaut ) dan di Zanzibar serta di Indonesia (Kalimantan, Manado, Sumba, Denpasar, Madura, Jakarta, Surabaya, Semarang, Pekalongan ).
Waliyyullah Muhammad Bin Semith pulang ke Rahmatullah dikota Tarim sekitar tahun 950 Hijriyah
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan Para Sholihin. Amin !.



Leave a Reply

come my plaze