Imam Nawawi, Imam Hadits Yang Zuhud


Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi atau lebih dikenal sebagai Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar mazhab Syafi'i. Beliau dikenal sebagai seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadits.
Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar kepadanya. Diantara mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fariSyihabuddin al-ArbadiShihabuddin bin Ja’wanAlauddin al-Athar dan yang meriwayatkan hadits darinyaIbnu Abil FathAl-Mazi dan lainnya.
Karya ilmiahnya sangat banyak dan dijadikan rujukan kaum muslim hingga saat ini. Diantaranya Riyadhus Shalihin, Syarh Shahih Muslim, Syarh Sunan Abu Daud, Kitab Ar Raudhah, Tahdhibul Asma was Sifat, Mukhtashat At Tirmidzi, Tabaqat Asy Syafi’iyah, Muhimmatul Ahkam, Al Adzkar, At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Al Minhaj, dan tentu saja Al Arbain. Karya tersebut merupakan bukti kecemerlangan beliau.
Kehidupannya dihabiskan untuk berbakti kepada penyebaran dam perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Makan minumnya hanya sekali dalam sehari, sekadar memelihara kesehatan badannya.
Hidupnya sangat sederhana. Ini bisa disaksikan dari pakaiannya yang sangat sederhana. Tidak suka makan buah-buahan karena khawatir mengantuk yang akan mengganggu aktifitasnya. Ada juga riwayat lain yang menjelaskan bahwa keengganannya makan buah-buahan bukan semata khawatir mengantuk tetapi karena buah-buahan di Damsyik waktu itu terlalu banyak mengandung syubhat.
Beliau dikenal sebagai seorang yang bertaqwa menurut arti sepenuhnya, karena wara’ dan kebersihan jiwanya. Ia seorang ulama’ yang senang ditemui. Sepanjang hayatnya selalu istiqamah dalam menjalankan kewajiban menyebarkan ilmu dengan mengajar dan mengarang. Senantiasa beribadah di tengah-tengah kehidupannya yang serba kekurangan, sehingga hidupnya dipenuhi oleh usaha dan amal saleh terhadap agama, masyarakat dan umat.

Senang Belajar dan Mengajar
Imam Nawawi lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 1233 M. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia merupakan keturunan Hazam (kakek Imam Nawawi) yang paling menonjol.
Sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas. Hafal al-Qur’an pada usia muda. Tidak suka bermain dengan teman sebayanya karena ia lebih suka menghapal Al Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Karenanya, sebelum menginjak usia dewasa, sudah hapal Al Quran 30 juz.
Pada tahun 649 Hijrah, saat berusia sembilan belas tahun pergi ke kota Damsyik untuk belajar. Ia belajar di madrasah al-Ruwahiyyah atas beasiswa dari sekolah tersebut.
Sang Imam belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-AshariZainuddin bin Abdud DaimImaduddin bin Abdul Karim Al-HarastaniZainuddin Abul BaqaKhalid bin Yusuf Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-ShairafiTaqiyuddin bin Abul YusriSyamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fiqih hadits(pemahaman hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuhdan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.
Selain cerdas, beliau adalah sosok ulama yang zahid (tidak terpukau akan silaunya dunia), pemberantas bidah, serta gemar bedzikir. Ia telah sukses menyumbangkan tenaga fikiran dan ‘ilmunya kepada agama Islam dan umatnya.
Banyak orang yang tidak berusia panjang, namun meninggalkan kenangan yang tak terlupakan. Tidak terkecuali Imam Nawawi. Meski usianya hanya 45 tahun (631-676 H). Pada 24 Rajab 676 Hijrah beliau wafat dan dimakamkan di Nawa, setelah sekian lama hidup membujang di tengah-tengah suasana masyarakat Damsyik sudah maju peradabannya.
Fatwa Imam Nawawi yang Menggemparkan
Menurut riwayat, suatu ketika Khalifah al-Malik al-Zahir mengadakan persiapan perang melawan orang-orang Tatar (monggol). Dalam persiapan tersebut  khalifah menggunakan fatwa ‘ulama yang mengharuskan mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang melawan musuh. Para ulama fiqh negeri Syam membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang.  
Namun rupanya hati khalifah masih belum tenang karena Imam Nawawi belum memberi fatwa mengenai hal itu. “Masih adakah lagi orang lain,”kata khalifah. “Masih ada, al-Syaikh Muhyiddin al-Nawawi” – demikian jawaban yang disampaikan kepada baginda.
Kemudian khalifah menjemput Imam Nawawi dan memintanya memberi fatwa seperti ‘ulama fiqh lain mengenai pengambilan harta rakyat untuk peperangan. Namun beliau enggan dan tidak mau memberi fatwanya. Baginda bertanya: “Mengapa engkau enggan?” Lalu beliau memberi penjelasan mengapa enggan memberi fatwa. Beliau berkata kepada khalifah,”Saya tahu sesungguhnya tuanku dulu seorang tawanan yang tidak memiliki harta benda. Kemudian Allah melimpahkan kurnianya kepada tuanku dan menjadikan  tuan seorang raja. Saya mendengar bahawa tuan memiliki seribu orang hamba yang tiap-tiap mereka mempunyai beberapa ketul emas. Seandainya dua ratus orang khadam wanita milik tuanku, mempunyai perhiasan yang bernilai dan tuanku menjual perhiasan itu untuk biaya perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan tuanku mengambil harta rakyat.”
Itulah jawaban Imam Nawawi kenapa ia enggan mengeluarkan fatwa. Intinya, beliau tidak membenarkan khalifah mengambil harta rakyat selama kekayaannya sendiri masih dapat dipergunakan.
Mendengar jawaban tersebut, al-Malik al-Zahir murka kepada Imam Nawawi. Akhirnya ia mengusir ulama yang kharismatik itu keluar dari Damsyik. Imam Nawawi pun memilih hengkang dari negerinya. Kemudian suatu ketika para ‘ulama Syam berusaha menjemput beliau agar kembali ke Damsyik. Namun beliau tidak mau dengan berkata: “Saya tidak akan kembali ke Damsyik selama khalifah masih berkuasa”.
Sikap Imam Nawawi ini membuktikan bahwa beliau bukanlah seorang ulama’ yang mencari kebenaran untuk dirinya saja, tapi demi kemaslahatan umat. Beliau tidak menjual ilmu yang dimiliki demi harta benda dunia. Seluruh hidupnya dicurhakan untuk ilmu demi masyarakat. Beliau yang memimpin ummat bukan ummat yang memimpinnya. Berani mengeluarkan fatwa tanpa memandang bulu, walaupun fatwanya itu meyusahkan posisinya. Inilah bukti bahwa beliau adalah ulama’ pewaris nabi (warithatul anbiya’).
Sepanjang hayatnya banyak menulis, mengarang, mengajar dan menasihati. Inilah yang telah mengangkat ketinggian peribadinya.

Leave a Reply

come my plaze