Riwayat Hidup Imam Syafi’i Rahimahullah 
Kelahiran Imam Syafi’i
Para ulama sepakat bahwa Beliau lahirpada tahun 150 H yaitu tahun ketika Imam Abu Hanifah meninggal. Bahkan ada yang mengatakan bahwa bertepatan pada hari ketika Iman Abu Hanifah wafat. Kemudian wafatnya pada tahun 204 H.

Nasab Imam Syafi’i
Beliau merupakan keturunan suku quraisy dan masih satu nasab dengan Rasulullah SAW. Nama beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idrisbin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin Al Muthallib bin Abdi Manaf bin Qushai Al Quraisyi Al Mathlabi Asysyafi’i Al Hijazi al Makki. anak paman Rasulullah yang bertemu silsilahnya pada Abdu Manaf.

Perjalanan Ilmiyah Imam Syafi’i
Beliau merupakan anak yatim dan di asuh oleh ibunya yang miskin dan waktu kecil ibundanya tidak mampu untuk membayar uang pengajarannya dalam pelajaran Al Quran. Yang ketika itu kebiasaan anak-anak bangsa arab biasa dititipkan ke Kuntab (semisal TPA di Indonesia) untuk belajar dan menghapal Al Quran. Tetapi sang guru Muslim bin Khalid Azzanji merasa cukup senang jika Syafi’i kecil dapat mengantikan nya mengajar ketika dia kelelahan. Imam Syafi’i sebelum tamyiz sudah hapal quran.
Pada waktu itu ibunya tidak dapat membelikan beliau kertas tetapi beliau tidak putus asa. Sehingga beliau menulis hadist hadist yang dihapalnya di atas tulang-tulang unta.

Setelah di Mekah beliau sudah menghapal quran dan ratusan hadits serta masalah-masalah yang diperdebatkan oleh ulama-ulama Mekah. Maka belai hendak ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik bin Anas. Sebelum pergi ke madinah Imam Syafi’i kecil menghapal kitab Al Muwathta untuk menarik perhatian Imam Malik bin Anas.

Pada usia 13 tahun beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Mailik Bin Anas. Dikarekan usia yang begitu muda dan begitu banyak hapal hadits dan masalah-masalah maka sampai-sampai Imam Malik bin Anas menyatakan bahwa ” Engkau pantas jadi qadhi atau hakim”. Kemudian pada umur 15 tahun beliau sudah dipersilakan untuk membuat fatwa oleh gurunya.

Kemudian beliau ke Baghdad pada tahun 195 H, yang pada waktu itu diperintah oleh Pemerintahan Ma’mun. Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun kemudian ke Mekkah dan ke Baghdad lagi pada tahun 198 H. Kemudian tinggal di Baghdad beberapa bulan. Setelah itu beliau tinggal di Mesir.

Pada waktu itu Baghdad penuh dengan aliran yang lebih mengedepankan ra’yu dan para aqlaniyun. Dan merupakan salah satu kelebihan Imam Syafi’i dalam muhadhorah yang selalu mengedepankan Qalallahu Qalarrosul, selalu menyatakan dalam debatnya kepada para aqlaniyun: apakah ada dalam Al Quran seperti itu, apakah ada dalam atsar dari Rosulullah SAW dan juga contoh dari para sahabat.

Beliau merupakan ulama ahlusunnah dan berpegah teguh dengan nya. Dan juga banyk sekali sanjungan dan pujian kepada Beliau dari ulama-ulama saat itu diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam Sufyan bin Uyainah. Mudah-mudah keselamatan selalu tecurah kepada beliau. Amin  .

. Karya-karya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i hidup tidak kurang dari setengah abad, namun beliau sangat kaya akan karya-karya beliau yang sampai saat ini masih bermanfaat bagi umat manusia. Beliau tidak berdiam di satu tempat saja, tetapi selalu bepergian untuk menggali ilmu dari para ulama terdahulu. Ketika berbicara tentang karya beliau, Ibnu Zaulaq menyatakan bahwa karya beliau mencapai dua ratus buah. Imam al-Marwazy menambahkan, “Imam Syafi’I mengarang lebih dari 113 kitab yang terdiri dari kitab tafsir, fiqih, sastra dll.”
Namun, dari sekian banyak karya beliau, Kitab al-Umm sangat dikenal banyak orang, terlebih oleh para pengikut ajaran beliau. Kitab ini adalah sebuah ensiklopedia fiqih islam yang mencakup ajaran-ajaran mazhab Syafi’i. Beliau mengarang kitab ini ketika berdiam di Mesir setelah mengadakan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu. Kitab ini juga mencakup pemikiran-pemikiran beliau semasa hidup. Dalam perumusan kitab ini, Imam Syafi’i mengambil cara yang dipakai oleh Abu Hanifah. Abu Hanifah memulai kitabnya dengan babThaharah, begitu juga dengan Imam Syafi’i di Kitab al-Umm.

Imam ke empat dari mazhab besar Ahlus Sunnah, adalah Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani Abbasiyyah ke-III, yang masa itu Baghdad menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan.

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hanbal, dinisbahkan pada kakeknya, sehingga mazhabnyapun oleh kaum Muslimin masyhur dengan sebutan mazhab Hanbali. Ketika meneliti silsilah keluarga dan nasab Imam Ahmad, beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad saw pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Beliau adalah keturunan Rabi’ah bin Nizar, sementara Nabi saw adalah keturunan Muzhar bin Nizar.

Meskipun dilahirkan di Baghdad, Irak, kedua orang tua beliau berasal dari Marw, satu wilayah di Khurasan. Mereka kemudian pindah ke Baghdad. Kepindahan tersebut terjadi ketika ibunya sedang mengandung Ahmad bin Hanbal. Tiga tahun setelah kelahirannya, ayahnya, Muhammad bin Hanbal, wafat. Sejak saat itu, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh ibunya.

Meskipun hidup dalam keadaan yatim dan dalam lingkungan keluarga yang miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah, sejak kecil Imam Ahmad telah memulai riwayat pendidikannya. Dalam suasana serba kekurangan, beliau gigih menuntut ilmu, sehingga dalam usia 14 tahun beliau telah menghafal Al-Qur’an keseluruhannya. Karena kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu, beliau memulai safari ilmiahnya sejak berusia 16 tahun. Beliau pergi ke Makkkah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan negara-negara lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi.

Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa’id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki’ bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dan lain-lain. Dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.

Dari hasil kegigihan Ahmad bin Hanbal melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu dapat dilihat dari karyanya yang masyhur dikenal dengan nama Al-Musnad. Karya ini adalah sebuah ontologi hadits-hadits Nabi Muhammad yang disusun berdasarkan urutan nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Di dalam karya ini, terdapat sekitar 30.000 hadits yang disusun berdasarkan klasifikasi sahabat-sahabat Nabi saw. Klasifikasi tersebut dimulai dari hadits-hadits sepuluh sahabat yang telah direkomendasi oleh Nabi Muhammad untuk masuk surga, sahabat-sahabat senior di luar sepuluh sahabat tersebut, sahabat-sahabat yang tergolong ahlu bait nabi, sisa sahabat-sahabat senior, juga sahabat-sahabat yang berdiam di Makkah-Madinah-Syam-Kufah, sisa sahabat-sahabat Anshar, sampai kemudian ditutup dengan hadits-hadits dari para sahabat nabi yang berasal dari kabilah-kabilah di luar Makkah dan Madinah. Karya-karya beliau yang lain mencakup, Tafsir al Qur’an, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Qur’an, Jawabat al Qur’an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Tha’atu Rasul, Al ‘Ilal, Al Wara’ dan Ash Shalah.

Kekhususan Fiqih Hanbali

Sumber utama pengambilan dalil dalam istinbath (penetapan) hukum dalam Mazhab Hanbali adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ulama-ulama dalam mazhab ini tidak mengenal adanya perbedaan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya saling mendukung dan saling menetapkan. Pemisahan antara keduanya adalah kesesatan dan bagi siapa saja yang melakukannya akan mendapat permusuhan yang keras dari mazhab ini. Bagi mazhab ini segala sesuatu yang diputuskan (difatwakan) sahabat Nabi saw dan para fukaha adalah juga merupakan hujjah (dalil/bukti). Mereka pun menetapkan kebolehan berdalil dengan hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal (selama berderajat tidak tertolak dan mungkar dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an). Selain itu ketika tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur’an, hadits shohih, perkataan para sahabat atau pendapat dari mereka dan riwayat-riwayat yang berderajat dhoif dan mursal, maka mereka memperbolehkan menggunakan kias (qiyas).

Kekhususan lainnya dari mazhab Hanbali adalah menetapkan disiplin yang ketat dalam pelaksanaan ibadah, muamalah dan thaharah (penyucian). Contohnya, pada pelaksanaan wudhu, mazhab ini mewajibkan untuk berkumur-kumur dan istinsyah (menghirup air lewat hidung).

Akidah dan Kalam (Teologi) Mazhab Hanbali

Disebabkan Imam Ahmad dan para pengikutnya berpegang teguh hanya pada teks-teks hadits maka sulit untuk menjelaskan pendapat beliau tentang ilmu kalam (teologi). Karenanya dalam persoalan akidah, sepenuhnya menyandarkan pendapatnya pada Al-Qur’an dan As Sunnah dan cenderung menyalahkan pandangan lain. Misalnya dalam masalah ma’rifatullah (pengenalan terhadap Tuhan) khususnya pada pembahasan sifat-sifat Allah mereka cenderung menyalahkan pendapat Jahmiyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan para pengikut mereka. Dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal kalam (perkataan) Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an bukanlah makhluk. Sikap keteguhan dan ketegasannya memegang pendapatnya bahwa Al-Qur’an bukan makhluk menyebabkan beliau dijebloskan ke penjara. Saat itu kekhalifaan Abbasiyah menetapkan paham Mu’tazilah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhalifahan yaitu al Makmun, al Mu’tashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al Watsiq meninggal dan digantikan oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana maka Imam Ahmad pun dibebaskan. Begitu juga dalam persoalan ru’yat (melihat Allah), bagi beliau adalah sesuatu yang harus diterima, karena diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa kelak di akhirat manusia diberi kemampuan untuk bisa melihat Allah SWT. Pada masa kini, mazhab Hanbali di antara keempat mazhab lainnya adalah mazhab yang paling sedikit pengikutnya. Namun ulama dari mazhab ini, tidak lagi menyebut diri mereka sebagai Hanbali namun memperkenalkan diri sebagai pengikut salafi ataupun Wahabi. Karena Abdullah bin Abdul Wahab yang mencetuskan paham Wahabi akar pemikirannya berasal dari prinsip-prinsip pemikiran Ahmad bin Hanbal.

Murid-Muridnya

Di antara murid-murid beliau yang terkenal dan senantiasa meriwayatkan pendapat-pendapat beliau, yakni, Abul Abbas Ashthakhari, Ahmad bin Abi Khitsmah, Abu Ya’la Mushalli, Abu Bakar Atsram, Abul Abbas Tsa’lab dan Abu Daud.

Akhir kehidupannya

Setelah sakit Sembilan hari lamanya, beliau meninggal dunia di pagi hari Jum’at, bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H (855 M) di Baghdad pada umur 77 tahun. Semoga Allah menerima amal-amal kebaikan beliau rahimahullah.

Rujukan:

Fikih Tathbiqi, Sa’id Manshuri (Aarani)

Chohor Imam Ahli Sunnah wa Jamaat, Muhammad Ra’uf Tawakulli

Tarikh Firqah Islami Jilid I, DR. Husain Shahabari

Al Ammah Al Arba’ah, DR. Ahmad Asy-Syarbaashi

Tahqiq dar Tarikh wa Falsafah Mazahib Ahlu Sunnah, Yusuf Fadhai


IMAM MALIK BIN ANAS


Di antara tokoh Islam yang mazhab fikihnya masih banyak diikuti dan tetap berkembang sampai saat ini adalah Imam Malik Rahimahullah. Nama lengkap beliau, Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Dinisbahkan kepada beliau Al-Ashbahi, karena nenek moyang beliau berasal dari sebuah kabilah bangsa Arab bernama Dzi Asbah, dan telah berhijrah dari Yaman dan akhirnya menetap di Madinah. Dan dinisbahkan pula kepadanya Al Madani, karena beliau lahir di Madinah, yakni pada tahun 93 H (714 M). Beliau adalah anak dari salah seorang ulama besar Tabi’in bernama Anas bin Malik. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al Adziyyah. Kakek beliau adalah salah seorang sahabat agung Nabi, Anas bin Malik ra yang selalu menyertai Nabi saw dalam semua peperangan kecuali perang Badar.


Kelahiran dan Riwayat Pendidikan

Menurut riwayat yang masyhur, Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H di Kota Madinah Al-Munawwarah. Beliau lahir, besar, belajar dan mengabdikan dirinya sepenuhnya di kota Madinah, dan tak pernah sekalipun keluar ke kota lain, kecuali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Beliau telah merasa cukup menimba ilmu di Madinah, karena baginya Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya, terlebih lagi ayah dan kakeknya sendiri adalah ulama hadits terpandang di Madinah. Tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga ulama, menjadikan beliau sejak kecil telah terbiasa mencintai ilmu. Beliaupun menuntut ilmu dari banyak ulama yang berdiam di Madinah. Di antara ulama besar yang beliau serap ilmunya adalah Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Dinar dan Imam Ja’far as Shadiq. Karena telah memulainya sejak dini, maka di usia yang teramat muda 17 tahun (riwayat lain menyebutkan 21 tahun) beliau telah diperbolehkan mengajarkan hadits dan mengeluarkan fatwa. Diriwayatkan beliau pernah berkata, “Dan tidaklah aku boleh berfatwa dan mengajar hadis sampai ada 70 orang syeikh dari golongan ahli ilmu yang telah memberi kesaksian bahwa aku dibenarkan berbuat sedemikian.”

Kecintaan dan minatnya yang mendalam terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar sekaliber Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya. Menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah dan Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad. Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.” Demikian pula, Imam Malik lebih menghormati ulama dan cendekiawan dari apapun, hatta kepada khalifah sekalipun. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang telah menjadi tradisi yang tertanam, namun Imam Malik tidak pernah sekalipun melakukannya. Namun sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.

Kepada murid-muridnya, beliau juga menanamkan kecintaan kepada ilmu dengan memberikan penghormatan dan pemuliaan terhadap ilmu. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, yang saat itu Khalifah Harun Al Rasyid, tertarik mengikuti kajian kitab al Muwaththa' (himpunan hadis) yang diadakan Imam Malik. Karena khalifah ingin diajari seorang diri, maka ia mengutus orang untuk memanggil Imam. Namun Imam Malik menolak, dan memberikan nasihat kepada Khalifah Harun melalui utusannya, ''Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormati ilmu, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.'' Khalifah pun akhirnya bersedia menemui Imam Malik, namun meminta agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat kajian itu diadakan. Namun, permintaan itu kembali tak dikabulkan Imam Malik. Beliau berkata, ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Dari Al Muwaththa' Hingga Madzhab Maliki

Kitab seperti apakah Al-Muwaththa’ itu, sehingga Khalifah Harun Al Rasyid sampai tertarik mengikuti kajiannya bahkan rela duduk berdampingan dalam majelis bersama para pecinta ilmu dari kalangan rakyat jelata?. Al Muwaththa' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan yang disusun sendiri oleh Imam Malik Rahimahullah. Al Muwaththa' berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Kitab ini memuat hadits-hadits yang dikumpulkan dan diteliti Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah shahih karena Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Beliau sangat berhati-hati ketika mengklasifikasikan, meneliti dan menerima serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja yang menurut beliau shahih, namun dari 10.000 hadits itu, kemudian hanya 5.000 saja yang menurut beliau tidak ada lagi keraguan tentang keshahihannya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Namun beliau hanya memasukkan 1.720 hadits dalam kitabnya tersebut. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menyaring hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya.

Dengan melalui penelitian dan studi yang komprehensif, maka menjadi wajar jika kitab Al Muwaththa' ini menjadi rujukan penting dalam dunia Islam, khususnya pada pembahasan fiqh. Bahkan sejumlah ulama berpendapat bahwa kitab sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Karya monumental Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat. Hadits-hadits yang terdapat dalam A l Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits-hadits mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Menurut beberapa riwayat, kitab Al Muwaththa' lahir atas permintaan Khalifah Al-Mansur karena Imam Malik menolak panggilan Khalifah untuk menemuinya di Baghdad. Karena permintaannya ditolak, maka Al Mansur memberikan pilihan lain dengan memintanya untuk mengumpulkan hadits dan membukukannya. Karena ketegasan sikapnya untuk tidak akan meninggalkan kota Madinah, maka lahirlah Al Muwaththa'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M). Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Sedemikan terkenalnya kitab Al-Muwaththa’, Abu Ja’far Al-Mansur pernah menginginkan untuk menjadikan kitab tersebut sebagai undang-undang yang perlu diaplikasikan ke setiap negara Islam. Namun Imam Malik menolaknya, beliau berkata, “Jangan engkau melakukannya! Masih demikian banyak sahabat yang berpencar diberbagai tempat, mereka banyak meriwayatkan hadits-hadits selain hadits-hadits dari Hijaz yang telah menjadi sandaranku, dan telah banyak manusia telah mengambil dan bersandar pada hadits-hadits tersebut. Maka biarkanlah mereka di dalam keadaan mereka itu.”

Selain Al Muwaththa', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan. Beliau juga menulis Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un dari Nafi’ dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir, Risalah ila Laits fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan lainnya.

Imam Malik tidak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Di Iran juga sampai sekarang masih terdapat sejumlah pengikut Mazhab Maliki meskipun jumlahnya tidak banyak. Sampai saat ini, hanya Maroko satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

Meskipun banyak yang mengikuti ajaran dan pendapat-pendapatnya tidak mejadikan Imam Malik Rahimahullah menjadi bangga dan berbesar hati. Beliau tetap mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya untuk konsisten dalam memegang teguh dan bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits. Pesan beliau yang tercatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah kegemilangan Islam, "Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah."

Wafat Beliau

Imam Malik Rahimahullah wafat di pagi hari 14 Rabi’ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya, mengampuni kesalahan-kesalahannya, melimpahkan baginya pahala atas amalan-amalan shalihnya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.


Ulama Salaf/ Ulama terdahulu menjaga agama Allah, menghidupkan sunnah Rosulullah SAW dengan tantangan berat yang mesti dihadapi dengan mempertaruhkan jiwa dan raganya. Kita simak perjuangan Imam Hanafi.


Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.

Nasab dan Kelahirannya: bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi

Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.

Perkembangannya

Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.

Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.

Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.

Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.

Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:

1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.

2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.

3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.

4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”

5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.

6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.

7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.

8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.

9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah

Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :

1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.

2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.

3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.

4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …

Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”

5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.

Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”

Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:

a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.

b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.

Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.

Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya.

Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut berbeda dengan para imam yang lainnya, …”.

Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.

c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya

Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.

Leave a Reply

come my plaze